Jumat 31 Jan 2020 21:54 WIB

Resesi Dunia Dinilai Masih Jauh

Beberapa negara seperti China dan India mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Resesi atau kemerosotan ekonomi Amerika Serikat (AS) dinilai masih jauh. Ini dikarenakan berbagai indikator pasar saat ini tidak menunjukkan adanya resesi.

"Kita lihat kalau kurva antara imbal hasil antara yang jangka panjang dan pendek, lebih tinggi yang pendek, itu ada indikasi risiko jangka pendek naik, sehingga ada kekhawatiran resesi ke depan. Hanya saja, saya tunjukkan tadi ternyata selisih antara panjang dan pendek masih positif, berarti jangka panjang masih lebih tinggi dari jangka pendek," jelas Director Chief Economist & Head of Research PT Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih kepada wartawan di Wisma Antara, Jakarta, Jumat (31/1).

Baca Juga

Ia menjelaskan, imbal hasil jangka panjang harus lebih tinggi dari jangka pendek. Sebab, jangka panjang memiliki rentang waktu lebih lama. "Kalau sampai jangka pendek perolehan return-nya (imbal hasil) dari suku bunganya lebih besar dari jangka panjang. Itu berarti investor harus dapat imbalan atas risiko jangka pendek yang mendekati kejadian. Ini dari indikator pasar yang namanya inverted yield curve tidak terjadi sekarang," tutur Lana.

Dirinya melanjutkan, biasanya bila terdapat indikator terjadi resesi, bank sentral akan merespon dengan menambah likuiditas atau menurunkan suku bunga. Respon tersebut menunjukkan bank sentral sebuah negara tengah waspadai kondisi.

"Itu yang biasa dilakukan bank sentral termasuk Bank Indonesia (BI) maupun The Fed. Artinya, bank sentral alert jangan sampai terjadi resesi sehingga mereka lebih confidence. Biasanya respon bank sentral sangat diperhatikan oleh pasar," jelasnya.

Menghadapi ketidakpastian global maupun ancaman resesi, lanjut dia, investor harus memilih aset berbasis pendapatan tetap. Dengan begitu imbal hasilnya pun tetap.

"Bisa obligasi, juga deposito. Namun kalau benar-benar terjadi resesi, malah seharusnya pegang cash (uang tunai)," tegas Lana.

Senada dengan lana, Ekonomi sekaligus Komisaris Independen Bank Central Asia (BCA) Raden Pardede menambahkan, resesi masih jauh terjadi. Sebab, berbagai data ekonomi, baik makro maupun mikro juga belum terlihat menunjukkan itu.

"Resesi, secara definisi teknikal adalah kalau dia dua kuartal berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif. Bicara Indonesia, lebih jauh lagi dari resesi," ujarnya pada kesempatan serupa.

Jika dilihat, lanjutnya, beberapa negara lain seperti China dan India mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi. India turun dari sekitar delapan persen ke 4,5 persen. Sedangkan Indonesia relatif tetap di Kisaran lima persen, sehingga tidak turun secara signifikan.

"Ke depan kita tidak melihat ada resesi. Teman-teman di IMF maupun Bank Dunia juga tidak melihat itu, karena dua negara penyumbang terbesar ke ekonomi dunia yakni Cina dan AS belum memperlihatkan tanda resesi, dan tidak memperlihatkan resesi dalam satu sampai dua tahun ke depan," jelas Raden.

Dirinya menyebutkan, sumbangan kedua negara terhadap perekonomian dunia hampir 42 persen. AS menyumbang sekitar 24 sampai 25 persen, lalu Cina sekitar 15 sampai 16 persen. Maka bila terjadi resesi di kedua negara tersebut, otomatis dunia ikut resesi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement