Kamis 06 Feb 2020 17:57 WIB

Infrastruktur Bernilai Tambah di Luar Jawa Belum Maksimal

Gencarnya pertumbuhan ekonomi di luar Jawa tak menjamin pemerataan.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Pertumbuhan Ekonomi Indoensia. Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (24/10). Penciptaan infrastruktur yang bertujuan meningkatkan nilai tambah industri di luar Jawa belum maksimal.
Foto: Republika/ Wihdan
Pertumbuhan Ekonomi Indoensia. Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (24/10). Penciptaan infrastruktur yang bertujuan meningkatkan nilai tambah industri di luar Jawa belum maksimal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, penciptaan infrastruktur yang bertujuan meningkatkan nilai tambah industri di luar Jawa belum maksimal. Penilaian tersebut terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memperlihatkan, kontribusi provinsi di Pulau Jawa masih dominan terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan, besaran kontribusinya semakin besar dalam lima tahun terakhir.

Heri menjelaskan, pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa yang terus digencarkan pemerintah tidak menjamin pemerataan ekonomi Indonesia. Di sisi lain, penentu pertumbuhan ekonomi adalah infrastruktur yang bernilai tambah.

Baca Juga

"Misal, kawasan industri sebagai pusat produksi bahan baku, lahan industri dan sebagainya harus dikembangkan," katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (6/2).

Apabila pemerintah tidak fokus membangun infrastruktur bernilai tambah, Heri pesimistis, target pemerintah untuk menciptakan pemerataan ekonomi sulit tercapai. Heri mengatakan, sebagus apapun infrastruktur jalan nasional yang dibangun pemerintah kini, dampaknya ke ekonomi tidak maksimal jika tidak dikonversikan nilai tambahnya.

"Apalagi, selama ini, Indonesia Timur sering mengandalkan sumber daya alam," tuturnya. 

Dampak itu sudah terlihat saat ini. Heri menuturkan, di saat harga komoditas turun di tingkat internasional dan produksi Freeport menurun, ekonomi Papua jadi mengalami kontraksi. Dari catatan BPS terakhir, sepanjang 2019, ekonomi Papua tumbuh negatif 15,72 persen. 

Tidak hanya berbicara infrastruktur, Heri menambahkan, penciptaan nilai tambah juga harus dilakukan melalui dana desa. Selama ini, dana desa identik untuk belanja pegawai ataupun barang.

Sudah seharusnya, dana desa yang nilainya naik dari tahun ke tahun ini difokuskan pada belanja modal. Dengan begitu, dampaknya terhadap ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat lebih besar.

"Multiplier effect-nya akan terasa maksimal," kata Heri. 

BPS mencatat, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sepanjang 2019 berjumlah Rp 15.833 triliun dengan kue ekonomi tersebut paling besar masih dinikmati Pulau Jawa. Porsinya mencapai 59,00 persen dengan pertumbuhan ekonomi 5,52 persen, melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, 5,02 persen. 

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, dominasi tersebut bukanlah hal baru. "Secara parsial, struktur ekonomi Indonesia tidak banyak berubah," ucapnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (5/2). 

Kontributor terbesar kedua adalah Pulau Jawa dengan peranan 21,32 persen, turun dibandingkan tahun 2018, 21,58 persen. Nilai ini disusul oleh Kalimantan dengan peranan 8,05 persen, yang juga turun dibandingkan tahun sebelumnya, 8,20 persen.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement