REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menghadapi peliknya mendapatkan alat kesehatan (alkes), bahan baku obat, hingga obat-obatan dalam situasi penanganan pandemi Covid-19 saat ini. Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan hampir 90 persen alkes hingga bahan baku obat berasal dari impor selama ini.
Jauh-jauh hari sebelum corona menyerang dunia, Erick Thohir telah memiliki gambaran besar terkait hal ini. Arya menyebut, sejak dilantik sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick memiliki gagasan terhadap energy security (ketahanan energi), food security (ketahanan pangan), dan health security (ketahanan kesehatan).
"Ketika beliau mendalami health security ternyata terbukti Indonesia itu berat kalau ada apa-apa. Beliau melihat di urusan-urusan kesehatan ini alkes, bahan baku obat, dan obat-obatan hampir 90 persen dari impor," ujar Arya di Jakarta, Jumat (17/4).
Erick, lanjut Arya, melihat hal tersebut sebagai sebuah ancaman bagi Indonesia apabila terjadi kejadian luar biasa di sektor kesehatan. Erick pun mulai melakukan langkah-langkah ketahanan kesehatan dengan membentuk sub holding BUMN Farmasi yang diisi Bio Farma, Indofarma, dan Kimia Farma. Ide ini mendapat lampu hijau dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Pak Jokowi melihat itu sebagai sesuatu yang harus dijaga dan kita harus menjaga yang namanya health security, makanya Pak Jokowi memerintahkan Pak Erick mempercepat proses penanganan masalah kesehatan, farmasi tepatnya," ucap Arya.
Baru berjalan beberapa bulan, Indonesia nyatanya dihantam oleh pandemi Covid-19. Arya menilai sub holding BUMN farmasi tentu belum pada kesiapan penuh menghadapi situasi seperti ini lantaran tengah dalam proses penguatan internal. Meski begitu, Arya mengatakan pandemi Covid-19 membuka mata banyak pihak betapa pentingnya keinginan Erick memperkuat ketahanan kesehatan bangsa.
"Beberapa bulan lalu ketika Pak Erick bicara health security, orang belum begitu peduli," kata Arya.
Arya menyampaikan bencana pandemi Covid-19 memberikan gambaran jelas mengenai kurangnya bahan baku obat hingga alkes di dalam negeri. Arya mengatakan cukup banyak pabrik yang memproduksi alkes seperti alat pelindung diri (APD) di dalam negeri, namun tak ubahnya hanya sebagai tukang jahit. Pasalnya, tak ada kecukupan bahan baku untuk alkes di dalam negeri.
"Bahan baku dari luar semua, Indonesia hanya tukang jahitnya saja. Orang luar bawa bahan baku ke tukang jahit, dia bayar tukang jahitnya, diambil barangnya, itu proses yang terjadi selama ini dan kita akhirnya impor juga barang tersebut karena bukan punya kita," ucap Arya.
Tak hanya APD, Arya menyebut hal serupa juga terjadi pada masker, ventilator, dan obat. Arya menyampaikan Indonesia sejatinya memiliki kemampuan untuk memproduksi sendiri alkes hingga obat. Namun terkendala bahan baku.
Erick, kata Arya, telah mengumpulkan sejumlah perguruan tinggi, industri otomotif, dan litbang untuk membuat ventilator. Dalam tempo sebulan, kata Arya, UI dan ITB terbukti mampu menciptakan ventilator tahap awal untuk pasien dalam kondisi tertentu. Sementara Litbang ESDM, ucap Arya, mampu membuat ventilator untuk pasien di ruang ICU yang sudah dalam kondisi parah.
"Artinya bangsa kita mampu membuat dan Pak Erick berkomitmen kalau nanti alat tersebut bisa, maka Pak Erick sudah menugaskan tiga BUMN, PTDI Pindad dan LEN, itu harus produksi ventilator ini," ungkap Arya.
Arya berharap upaya pembuatan ventilator yang sedang dilakukan saat ini dapat melewati uji klinik agar dapat diproduksi BUMN. "Di sini Pak Erick menyatakan kita terlalu sibuk selama ini dengan trading, tidak berusaha membangun industri dalam negeri untuk pengadaan alkes," ucap Arya.