REPUBLIKA.CO.ID, Asa untuk mendapatkan pemimpin ideal yang mampu membawa perubahan di masyarakat adalah harapan yang melintasi hampir tiap generasi anak Adam sepanjang sejarah. Ini terlihat, antara lain, dari sejumlah karya yang muncul pada Abad Pertengahan.
Al-Mawardi, misalnya, pernah menulis kitab bertajuk, Nashihat al-Muluk dan Nashihat al-Ikhwan. Kitab dalam topik yang sama juga pernah disusun Abu Bakar al-Hanbali dengan judul, Tajannub al-Fadlihah fi Taqdim an-Nashihat.
Satu dari sekian kitab fenomenal lain tentang pemimpin ideal dikarang oleh Abu al-Khair Badar ad-Din bin Abu al-Ma'mar bin Ismail at-Tabrizi (636 H) dengan judul, An-Nashihat li ar-Ra'i wa ar-Ra'yat. Kitab yang berisikan wasiat-wasiat Rasulullah SAW kepada para sahabat semasa hidup itu menegaskan pentingnya sikap ideal bagi para pemimpin.
Menurut analisis at-Tabrizi, fungsi pemimpin mengarahkan dan menjaga rakyat agar tetap berada dalam koridor keadilan, keseimbangan, dan kesejahteraan, baik dunia maupun akhirat.
Setiap pemimpin wajib menjelaskan perkara haram dan halal yang menyangkut ibadah dan muamalah mereka. Tugas serupa juga diemban oleh Rasulullah dan para khalifah penggantinya. Selain menegakkan syiar agama, para khalifah tersebut berkewajiban berbuat adil kepada seluruh elemen rakyat yang dipimpinnya.
At-Tabrizi mengingatkan, dalam mengemban amanah dan menjalankan pemerintahan, pemimpin yang mendapat kepercayaan rakyat harus mengedepankan prinsip keadilan. Sebab, berbuat adil adalah pangkal segala keutamaan. Terwujudnya keadilan dalam sebuah komunitas masyarakat akan menciptakan stabilitas nasional dan menyejahterakan kehidupan rakyat.
Dengan keadilan, keberlangsungan hidup orang banyak bisa terjaga dengan baik. Bahkan, keadilan digunakan sebagai barometer untuk mengukur sejauh mana rezim yang berkuasa bisa memperoleh dukungan dan simpati dari rakyat, juga mampu menggapai ridha dari Sang Khalik.
Karena itu, menurut at-Tabrizi, secara lugas Allah memerintahkan agar keadilan dijadikan landasan utama untuk menetapkan hukum di antara manusia. Sebab, di sanalah letak keberhasilan seorang pemimpin untuk menyampaikan dan melaksanakan amanah yang diberikan.
Tak lain karena adil adalah menempatkan segala sesuatu sesuai porsi dan tempatnya. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS an-Nisa [4]: 58).
Menurutnya, keadilan merupakan asas bagi tegak atau runtuhnya sebuah negara dan pemerintahan. Pada bab pertama ini, terdapat enam hadits dengan sanad dan matan berbeda yang mempertegas hal itu. Pertama, hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah.
Disebutkan dalam matan hadits yang bagi at-Tabrizi derajatnya hasan masyhur itu, tidak ada seorang pemimpin, kecuali dia akan dihadirkan dengan tangan terbelenggu pada hari kiamat. Lantas, hanya akan ada dua kemungkinan: belenggu akan terlepas oleh perbuatan adilnya semasa hidup di dunia atau justru semakin dijerumuskan sikap kelalimannya selama berkuasa dahulu.
Isi hadits kedua, masih dalam bab yang sama, yang diriwayatkan Abu Ubaid meskipun derajat haditsnya gharib lebih memaparkan tentang ciri mudah mengenali pemimpin yang lalim atau tidak. Seorang pemimpin bisa dikatakan lalim dan tidak berpihak kepada rakyatnya, apabila banyak pengaduan dan keluhan yang ditujukan kepadanya. Berbagai pengaduan yang ditujukan pada dasarnya kembali pada prinsip keadilan yang kian diabaikan oleh sang pemimpin.
Oleh karena itu, hadits ketiga mengungkapkan ancaman dan balasan bagi pemimpin lalim dan enggan berbuat adil. Sebuah riwayat yang dinukil Abu Hurairah menyatakan tentang hal itu. Rasulullah SAW bersabda, "Ada empat golongan yang dibenci Allah, yaitu para pembaiat yang kerap bersumpah, fakir yang congkak, orang tua pezina, dan pemimpin lalim.