REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama bulan suci Ramadhan, kaum Muslim pada hakikatnya sedang dididik agar sanggup konsisten dalam kejujuran. Puasa adalah contoh ibadah yang bertumpu pada kejujuran. Sebab, hanya si pengamalnya dan Allah SWT yang mengetahui, apakah ia sedang berpuasa atau pura-pura puasa di hadapan orang.
Dengan konsistensi itulah, perilaku jujur dapat menancap di hati dan jiwa. Keimanan pun semakin bertambah tebal.
Sesungguhnya, keimanan dan kejujuran selalu beriringan. Keimanan tak mungkin dekat dengan dusta.
Rasulullah SAW pernah ditanya, "Apakah mungkin seorang Mukmin itu pengecut?" Beliau menjawab, "Mungkin."
Lalu ditanyakan lagi, "Apakah mungkin seorang Mukmin itu kikir?"
"Mungkin."
"Apakah seorang Mukmin itu berdusta?"
Nabi SAW menjawab tegas, "Tidak mungkin" (HR Imam Malik).
Dengan demikian, tidak mungkin keimanan dan kebohongan bercampur dalam hati yang sama.
Dalam kesempatan lain, Rasulullah bersabda, "Sungguh, kejujuran akan mendatangkan ketenangan, sedangkan kebohongan mendatangkan keraguan" (HR Tirmidzi).
Sesuatu yang besar dimulai dari yang kecil-kecil. Seseorang yang awalnya terpaksa berbohong akan melakukannya terus-menerus. Akhirnya, berbohong pun menjadi kebiasaan yang melekat pada dirinya. Inilah yang harus diwaspadai.
Umar ibn Abdul Aziz menasihati, "Demi Allah, tak sekalipun aku pernah berbohong lagi sejak kutahu, kebohongan hanya membawa masalah bagi yang melakukannya!"