Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan pada Senin (01/06) bahwa ia mengerahkan ribuan tentara dan polisi bersenjata berat, untuk mencegah terjadinya kerusuhan lebih lanjut di Amerika Serikat.
"Apa yang terjadi di kota ini tadi malam benar-benar memalukan," ujar Trump dalam pidato nasional merujuk pada kondisi bangunan dan monumen yang dirusak di dekat Gedung Putih.
"Saya mengirim ribuan tentara yang bersenjata lengkap, personel militer, dan petugas penegak hukum untuk menghentikan kerusuhan, penjarahan, vandalisme, penyerangan, dan perusakan properti secara abai."
Trump sebut kerusuhan sebagai “aksi teror domestik”
Trump menyebut aksi protes nasional terhadap kematian seorang pria Afrika-Amerika George Floyd di tangan polisi, yang berubah menjadi kerusuhan massal sebagai "aksi teror domestik." Demonstrasi sebagian besar berjalan damai pada siang hari namun berubah menjadi aksi kekerasan pada malam hari.
"Saya ingin para koordinator teror ini mengetahui bahwa Anda akan menghadapi hukuman pidana berat dan jangka hukuman yang panjang di penjara," kata Trump, seraya polisi mengurai massa yang berada di luar Gedung Putih dengan gas air mata dan granat setrum.
Ia juga meminta para gubernur negara bagian untuk mengerahkan pengawalan nasional dalam jumlah yang cukup untuk mendominasi jalanan AS.
Trump sempat menyambangi St John, “gereja para presiden” yang rusak akibat kerusuhan. Ia berfoto di sana, tempat banyak presiden mengadiri layanan keagamaan, bersama beberapa anggota pemerintahannya, termasuk Jaksa Agung Wiliam Barr, penasihat keamanan nasional Robert O’Brien dan pembantu lainnya.
Gubernur New York Andrew Cuomo berkomentar melalui Twitter-nya terkait langkah Trump mengirim ribuan pasukan pengamanan protes dan kunjungannya ke gereja St. John yang dinilai banyak pihak hanya pencitraan.
“Presiden memanggil militer Amerika untuk melawan warga Amerika. Dia menggunakan militer untuk membungkam protes damai sehingga dia bisa memiliki kesempatan berfoto di sebuah gereja. Itu semua hanya ‘reality show’ bagi presiden ini. Memalukan."
Hasil otopsi Floyd akibat sesak napas dan pembunuhan
Hasil otopsi independen yang dirlis pada Senin (01/06) atas pengajuan keluarga Floyd, menemukan bahwa Floyd meninggal karena sesak napas akibat pembunuhan. Terdapat beberapa tekanan fisik yang mengganggu pasokan oksigen ke tubuhnya. Laporan itu mengatakan tiga petugas turut berkontribusi pada kematian Floyd.
"Buktinya konsisten dengan asfiksia mekanik (mati lemas) sebagai penyebab kematian, dan pembunuhan sebagai penyebab kematian," ujar Aleccia Wilson, pakar Universitas Michigan yang memeriksa jenazah Floyd atas permintaan keluarga, dalam konferensi pers.
Pemeriksa Medis Kabupaten (county) Hennepin pada Senin (01/06) juga merilis rincian temuan otopsi yang menyebut kematian Floyd sebagai pembunuhan yang disebabkan oleh sesak napas.
Laporan tersebut menambahkan bahwa Floyd menderita henti jantung ketika ditahan oleh polisi di aspal dan lehernya ditindih menggunakan lutut. Namun, dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa Floyd menderita penyakit jantung arteriosklerotik dan hipertensi, keracunan fentanil dan penggunaan metamfetamin baru-baru ini.
Tetapi dua dokter forensik yang melakukan otopsi independen dan dua pengacara keluarga Floyd mengatakan bahwa pria berusia 46 tahun itu tidak memiliki riwayat kesehatan yang mungkin berkontribusi pada kematiannya. Mereka berargumen bahwa tidak hanya petugas polisi yang menindih leher Floyd dengan lututnya namun juga dua petugas yang menekan berat badan mereka ke punggung Floyd ketika dia tertelungkup di aspal, sehingga menyebabkan aliran darah ke otak terhenti.
pkp/rap (Reuters, AFP)