REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmed Joe Hara*
Corona tak ada di kebun. Setidaknya demikian pendapat Mang Pahru pekebun palawija dan ubi jalar di Desa Nagrak Cianjur. Setiap hari dia bekerja di kebun dengan pekerjaan yang relatif berat bagi ukuran orang kota, mencangkul, menyiangi rumput yang ikut tumbuh di paritan, mengatur suplai air, menyemprot hama dan meninggikan paritan dengan cangkul, mulai jam 7 pagi hingga tiba waktunya Shalat Dzhuhur.
Tubuhnya menghitam tersinari matahari terus menerus. Otot-otot tangannya bagaikan kawat, keringatnya bercucuran dan dia tidak pakai masker, sebagai gantinya terselip sebatang rokok kretek di ujung bibirnya, rokoknya menyala dan sebentar-sebentar dia isap dan kepulkan asapnya tanpa menggunakan tangan.
“Mang Pahru ke mana maskernya kenapa tidak dipakai..?” sapaan saya kepadanya setiba di kebunnya. Mang Pahru memalingkan kepala, mencabut rokoknya dan berteriak.
“Oh ada si bapak, ngga kuat pak kalau pakai masker, eungap (sesak),” katanya sambil tersenyum lebar.
Petani Indonesia ini luar biasa, di saat tubuhnya kerja keras paru-parunya membutuhkan oksigen yang maksimal, bukan oksigen campur nikotin, tidak kuat pakai masker karena sesak tapi diasapi terus menerus seakan tenaga tambah kuat, luar biasa. Mang Pahru mengolah lahan satu hektar, setengah hektar dia tanami ubi jalar, seperempatnya dia tanami cabai dan seperempat sisanya dia tanami mentimun.
Dia mengolah lahan saudaranya yang tinggal di Jakarta, tidak menyewa tetapi bagi hasil saja, tidak ada jumlah suplai dalam kontrak, Mang Pahru mengirimkan uang hasil penjualan dari seluruh tanah itu ‘paroan’ (berbagi separuh) atau sekira 50 persen dari laba bersih penjualan kepada saudaranya itu si pemilik lahan.
Apakah Mang Pahru untung? Mari kita berhitung secara sederhana. Kita ambil mudahnya saja, biaya tani uji jalar HPP-nya Rp 2.000, artinya jika panen Mang Pahru 6 ton per setengah hektar dan dia menjual rata-rata 4.000 per kilogram maka dia punya untung Rp 2.000 dikali 6.000 kilo sama dengan Rp 12 juta.
Kemudian dari penanaman cabe dengan harga jual Rp 12 ribu per kilo, di mana produktifitas cabe diestimasikan satu kilogram per pohon per masa tanam. HPP penanaman cabe adalah Rp 18 ribu per pohon per masa tanam, Mang Pahru akan memperoleh keuntungan dari penjualan cabe kurang lebih 12 juta per masa tanam dengan jumlah tanaman 2.000 pohon di luas seperempat hektar.
Mentimun adalah komoditi pertanian yang tergolong paling murah, di petani harganya berkisar Rp 1.500–Rp 2.000 per kilogram. Mang Pahru menanam mentimun di luasan lahan seperempat hektar dan menanam kurang lebih 1.000 pohon timun, satu pohon timun memiliki produktifitas satu kilogram per dua hari, atau tiga kilogram per pekan dikali 1.000 pohon sama dengan tiga ton per pekan, atau 12 ton selama masa tanam, dikali harga jual Rp 2.000 per kilo. Maka Mang Pahru akan menghasilkan omzet per pekan sebesar Rp 6 juta, dikurangi biaya tani 50 persennya. Anggaplah Rp 3 juta per pekan dan Rp 12 juta per bulan.
Semua keuntungan tersebut dijumlahkan dan dibagi per bulan akan diperoleh keuntungan bersih untuk Mang Pahru kurang lebih Rp 18 juta. Karena Mang Pahru orang jujur, dia membagi separuh hasil taninya kepada pemilik lahan, jadilah penghasilan Mang Pahru tinggal Rp 9 juta. Berapa uang yang diperlukan Mang Pahru untuk kembali bertani menanam tanaman ubi, cabai dan timun? Jawabannya sekitar Rp 50 juta sebagai modal awal.
Ada berapa juta orang penganggur usia produktif di negeri kita kemudian komparasikan dengan jumlah lahan tidur yang tidak tergarap, bagilah setiap orang mendapatkan satu hektar, maka kita akan terkejut ternyata Indonesia tidak akan memiliki pengangguran karena semua bekerja di lahan satu hektar per orang.
Apakah itu tidak akan menimbulkan over supply? Over supply itu jawabannya terletak pada penerapan teknologi pascapanen, teknologi pascapanen paling mudah adalah teknologi mengurangi kadar air bagi semua hasil tani berupa umbi-umbian, ubi jalar, ubi kayu bisa diproses menjadi tepung, sehingga awet disimpan bertahun atau diubah menjadi pasta (getuk). Memang pasta tetap memiliki air tetapi sudah higienis dan bisa disimpan di freezer tahunan.
Teknologi pasta juga bisa diaplikasi untuk cabai, cabe rawit dan tomat. Teknologi ini memungkinkan distribusi yang lebih jauh karena umur lebih lama dan relatif menghindarkan petani dari adanya kemungkinan harga jatuh.
Kacang-kacangan bisa dikemas kedap udara (vacuum packing), kacang dikupas kemudian diproses sterilisasi dan langsung masuk kemasan vacuum tanpa sempat bersentuhan dengan udara bebas, teknologi ini sudah ada dan sudah umum dipakai. Tentu saja penerapan teknologi pasca panen bukan satu-satunya solusi untuk peningkatan pertanian, terdapat faktor lain yang juga penting yaitu marketing dan sistem distribusi pergudangan, gudang berpendingin lebih baik.
Satu lagi yang perlu diatur adalah para tengkulak atau bandar. Bandar ini banyak sekali, dan di lapangan mereka menjadi pembantu modal bagi para petani karena hubungan yang sangat dekat dengan petani. Alhasil kecepatan realisasi pinjaman modal dapat terjadi real time.
Semua itu mengalahkan sistem perbankan atau kredit petani lainnya yang dilakukan melalui lembaga resmi. Pasalnya lembaga biasanya tidak fleksibel pada sistem adminstrasi dan adanya jaminan.
Karena itu, banyak hal yang perlu ditata di sistem pertanian kita. Implementasi sistem baru terkadang langsung menjadi out of date karena dinamika dan perubahan yang cepat di lingkungan pertanian.
Tetapi Mang Pahru adalah petani mandiri, dengan manajemen yang sederhana dan disiplin yang kuat di permodalan membuatnya tak bisa diatur bandar, malah seringkali bandar dia yang atur. Jangankan bandar, virus corona saja tak mampu membuat Mang Pahru menggunakan masker.
*) Praktisi pertanian dan Ketua Umum Asosiasi Agrobisnis Petani Ubi Jalar Indonesia (ASAPUJI)