Senin 08 Jun 2020 12:12 WIB

Barnes & Noble Booksellers, Kisah yang Belum Selesai

Empat dekade usia keemasan Barnes & Noble, menjadi superstore.

Ady Amar
Foto: dok. Istimewa
Ady Amar

REPUBLIKA.CO.ID, Inilah toko buku tertua di dunia yang tetap "mengkilap" tiada tanding dan bandingnya. Kenapa saya sebut mengkilap? Karena jaringan toko bukunya selalu mewah menawan, dengan space area yang luas.

Didirikan tahun 1873, 147 tahun lalu, sebagai toko buku bernama Arthur Hinds & Company. Arthur Hinds pemiliknya, kala itu merekrut anak muda lulusan Harvard University, bernama Gilbert Clifford Noble.

Karena usahanya berkembang, maka Noble diberi saham. Tidak lagi sebagai karyawan, tapi juga pemilik. Dan jadilah nama toko itu berubah menjadi Hinds & Noble (1894). Lalu lambat laun, justru Noblelah yang mengakuisisi saham Arthur Hinds itu. Dari karyawan biasa menjadi pemilik tunggal. Wow!

Selanjutnya, Noble mengajak joint anak dari Charles M. Barnes kawan lamanya, bernama William Barnes. Eh, malah sang ayah kepincut, lalu turut pula bergabung. Sebelumnya, Charles M. Barnes adalah pengusaha percetakan. Dijual percetakannya untuk memperkuat bisnis anak dan kawan lamanya itu. Maka kepemilikannya menjadi ayah-anak, Charles M. Barnes-William Barnes dan Gilbert Clifford Noble.

Di tahun 1932, didirikan toko pertamanya Barnes & Noble Booksellers di kawasan elite Manhattan, New York. Hanya satu toko yang dimiliki. Sampai 1971, masuklah Leonard Riggio menguasai saham mayoritas.

Meski sahamnya terbesar, ia tidak mengubah nama toko itu dengan namanya ikut terpampang. Baginya tidak perlu namanya tampil, yang penting dialah penguasa sesungguhnya yang bisa menjadikan Barnes & Noble menjadi sesuatu sesuai keinginannya.

Bergabungnya "Ted Turner"

Siapa sih sebenarnya Leonard Riggio itu? Ialah mahasiswa di New York University (UNY), yang bekerja paruh waktu di toko buku kampusnya sebagai juru tulis. Beberapa tahun bekerja di sana, dia nekad memutuskan untuk putus kuliah dan membuka toko sendiri dengan bermodalkan hanya 5.000 dolar AS hasil menabung sekian lama.

Tekadnya, "Aku yakin bisa lebih hebat dari Bosku". Dan memang usahanya berkembang pesat, lalu dia buka empat toko buku lagi di kampus-kampus seputaran New York City. Nama tokonya SBX (Student Book Exchange).

Kesuksesannya menjadi tak terbendung bagai air bah dengan mengakuisisi banyak toko buku yang collaps dan setengah collaps, dan membuka jaringan toko buku di mal-mal. Sampai waktunya dia meyakinkan pihak bank meminjam 1,2 juta dolar AS untuk "mencaplok" idaman utamanya Barnes & Noble Booksellers.

Leonard Riggio menjadi tokoh kontroversial, dia dijuluki "Ted Turner" dari dunia buku. Tahu Ted Turner, kan? Ya benar, pemilik CNN.

Riggio dianggap salah satu pengusaha toko buku retail yang memahami, bahwa toko buku itu bagai panggung pertunjukan, sedang buku-buku yang tertata rapi di rak-rak adalah teater yang memukau. Riggio menyulap toko bukunya menjadi menyenangkan, rak-rak buku yang mentereng di mana buku-buku tertata rapi.

Mengundang kemewahan tersendiri. Tak lupa dia mengundang Starbucks Coffee di area dalam tokonya, sehingga yang datang ke toko bukunya tidak semata membeli buku, tapi juga bisa sejenak rileks sambil nyeruput kopi.

Menjual lebih dari sekadar buku, itu prinsipnya. Riggio ingin membangun image perusahaan. Dan itu berhasil.

Sejak Riggio bergabung di tahun 1971, jaringan tokonya menjadi meraksasa. Lebih kurang 800 toko buku di 50 negara bagian (AS), dan sekitar 627 toko buku kampus, yang melayani lebih dari 5 juta mahasiswa.

Di toko bukunya sekitar 1 juta judul buku dijual setiap tahunnya. Dan 4,5 juta e-Book tersedia untuk dijual. Lebih mencengangkan lagi, setiap tahunnya jaringan toko buku ritel dan online Barnes & Noble menjual buku sebanyak 190 juta eksemplar. Fantastis.

Hebatnya lagi, Barnes & Noble melayani 600 komunitas di 50 negara bagian di Amerika Serikat. Jika saja 1 komunitas itu berjumlah rata-rata 10.000 orang, maka silakan hitung sendiri berapa jumlah orang yang dilayani dari komunitas yang ada.

Empat dekade usia keemasan Barnes & Noble, sejak 1971 berevolusi menjadi raksasa tak tertandingi. Menjadi bukan saja bookstore, tapi superstore.

Tahun 1990 itu puncak-puncaknya Barnes & Noble mengepakkan sayapnya. Karenanya mendapat julukan tidak mengenakkan, "raksasa korporat paling rakus".

Tak ada kesempatan bagi pesaing, semuanya  dilibas habis. Sebenarnya bukan benar-benar pesaing, karena tidak selevel dengannya. Melibas toko-toko buku kecil dan menengah, dengan cara memberi potongan harga tidak kecil pada konsumen justru pada buku-buku best seller.

Dan itu sulit bisa diikuti "pesaingnya". Dia menuliskan dalam iklan pada brosur katalog yang dibuatnya, "Jika Anda Membayar Harga Penuh, Anda Tidak Mendapatkannya di Barnes & Noble". Maknanya, semua yang dibeli mendapat potongan harga.

 

Di sisi yang lain, sisi baiknya, Riggio seorang filantropis dengan mendirikan Riggio Foundation. Dia membantu penduduk New Orleans, Louisiana, saat dilanda badai katrina, 2015, dengan mendirikan Home Again. Tidak kurang 20 juta dolar AS, ia keluarkan untuk pendanaannya. Riggio dianggap sebagai dermawan dari banyak organisasi amal kemasyarakatan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement