Senin 15 Jun 2020 12:03 WIB

Meski Surplus, Neraca Dagang Mei Kurang Menggembirakan

Kinerja kurang menggembirakan tak hanya di Indonesia tetapi terjadi di seluruh dunia.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Truk mengangkut kontainer yang diturunkan dari atas kapal di Pelabuhan Pantoloan, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (30/11). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Mei mengalami surplus 2,09 miliar dolar AS.
Foto: Antara/Basri Marzuki
Truk mengangkut kontainer yang diturunkan dari atas kapal di Pelabuhan Pantoloan, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (30/11). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Mei mengalami surplus 2,09 miliar dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Mei mengalami surplus 2,09 miliar dolar AS. Rinciannya, kinerja ekspor mencatatkan nilai 10,53 miliar dolar AS, sementara impor mencapai 8,44 miliar dolar AS.

Meski surplus, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan posisi neraca dagang Mei harus mendapatkan perhatian. Sebab, surplus terjadi karena kinerja ekspor maupun impor yang mengalami penurunan masing-masing 28,95 persen dan 42,20 persen jika dibandingkan Mei tahun lalu (year on year/ yoy). 

Baca Juga

"Terciptanya surplus ini kurang menggembirakan," katanya dalam konferensi pers live streaming, Senin (15/6).

Kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif pada banyak sektor, yakni pertanian, industri pengolahan hingga pertambangan. Di sisi lain, impor juga turun pada semua kategori barang, mulai dari konsumsi, bahan baku dan penolong hingga barang modal.

Suhariyanto menjelaskan, penurunan impor bahan baku dan barang modal perlu terus diwaspadai pemerintah maupun dunia usaha. Tren ini akan berpengaruh besar ke pergerakan industri yang nantinya dapat berdampak pada perdagangan.

"Impor barang modal juga berpengaruh pada komponen investasi di dalam pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran," katanya.

Kinerja kurang menggembirakan tidak hanya terjadi di Indonesia. Suhariyanto bahkan menyebutkan, perkembangan ekonomi saat ini masih buruk di skala global. Ekonomi dunia diprediksi mengalami kontraksi dengan banyak negara mengalami pelemahan daya beli. Sebab, masih banyak di antara mereka menerapkan physical distancing, sehingga berpengaruh pada produksi dan rantai pasok global, termasuk ke Indonesia.

Selama April ke Mei, Suhariyanto juga mencatat terjadi perkembangan berbagai harga yang kebanyakan mengarah pada tren penurunan. Sebut saja batu bara yang mengalami penurunan 10,41 persen pada April dibandingkan Mei. Begitu juga dengan minyak sawit yang turun 5,75 persen.

Masih ada beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga. Salah satunya harga minyak mentah Indonesia (ICP) di pasar dunia yang pada April mengalami 20,66 dolar AS per barel dan naik menjadi 25,67 dolar AS per barel. Artinya, terjadi peningkatan secara month to month 24,25 persen.

Tapi, jika dibandingkan dengan tahun lalu, ICP mengalami penurunan. "Kalau dibandingkan dengan posisi Mei 2019, terjadi penurunan tajam yakni 62,3 persen," ujar Suhariyanto.

Kinerja neraca dagang Mei terlihat kontras dengan bulan sebelumnya. Neraca perdagangan Indonesia pada April mengalami defisit 350 juta dolar AS. Rinciannya, kinerja ekspor mencatatkan nilai 12,19 miliar dolar AS, sementara impor mencapai 12,54 miliar dolar AS.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement