REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Peralihan musim dari musim angin barat ke musim angin timur bagi nelayan Cilacap, biasanya menjadi masa panen ikan. Namun pada peralihan musim tahun 2020 ini, para nelayan tidak bisa memanfaatkan masa panen secara optimal mengingat kondisi cuaca di laut yang tidak menentu.
''Sejak peralihan musim, kondisi gelombang laut sering diwarnai gelombang tinggi. Kondisi laut seperti ini, menyebabkan banyak nelayan tidak bisa memanfaatkan waktu yang seharusnya menjadi masa panen, secara optimal,'' ucap Ketua Kelompok Nelayan Pandanarang, Cilacap, Tarmuji, Kamis (25/6).
Dia menyebutkan, pada awal musim angin timuran seperti sekarang, ikan-ikan yang mendekat di wilayah perairan Cilacap, biasanya merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Antara lain seperti ikan bawal putih yang di pasaran bisa dihargai di atas Rp 100 ribu per kg. Ada juga udang lobster.
Namun dia menyebutkan, kondisi gelombang tinggi yang sudah berlangsung lebih dari sebulan, menyebabkan nelayan tidak bisa memanfaatkan musim panen ini. Meski tidak setiap saat, namun hampir setiap hari kondisi laut diwarnai gelombang tinggi.
''Dalam kondisi laut seperti sekarang, nelayan harus pandai-pandai memanfaatkan waktu. Nelayan Cilacap yang kebanyakan menggunakan perahu kecil saat melaut, akan berangkat melaut seusai waktu subuh, dan pulang pada saat kondisi angin mulai berhembus kencang,'' katanya.
Dalam kondisi normal, kata Turmuji, nelayan Cilacap yang kebanyakan menggunakan perahu jenis perahu compreng untuk menangkap ikan, biasanya baru pulang menangkap ikan saat waktu Dzuhur. ''Namun dalam kondisi cuaca tidak menentu seperti sekarang, kalau pun berangkat subuh, biasanya jam 9-10 sudah pulang karena angin di laut mulai berhembus kencang,'' katanya.
Kondisi serupa juga dialami kapal-kapal besar berukuran di bawah 50 GT yang bersandar di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC). Nelayan kapal-kapal besar ini, untuk sementara juga memilih untuk menyandarkan kapalnya di dermaga. ''Gelombang laut di perairan dalam yang bisa mencapai ketinggian di atas 5 meter, sangat beresiko bagi kapal nelayan,'' katanya.
Dia memperkirakan, kondisi gelombang tinggi di perairan selatan ini, akan berangsur mereda sekitar sebulan lagi. Kondisi cuaca laut yang agak reda ini, biasanya akan ditandai dengan banyaknya ubur-ubur yang banyak dimanfaatkan kalangan industri.
''Meski harganya tidak terlalu tinggi, tapi karena hasil tangkapannya sangat banyak, nelayan tetap bisa mendapat hasil lumayan,'' kata dia.
Menurutnya, panen besar ubur-ubur terakhir bagi nelayan Cilacap, berlangsung pada tahun 2018 silam. Namun akibat melimpahnya ubur-ubur hasil tangkapan nelayan, harga ubur-ubur anjlok dari harga normal Rp 1.200 menjadi hanya Rp 600 per kg.
"Ubur-ubur ini biasanya digunakan untuk kebutuhan industri di luar negeri. Yang beli ubur-ubur di Cilacap, biasanya juga kalangan eksportir dari Jakarta,'' katanya.
Dia mengaku tidak tahu, kemungkinan panen ubur-ubur pada tahun ini akan menghadapi kondisi yang sama. ''Saya agak khawatir, adanya wabah Covid sekarang ini akan menyebabkan harga ubur-ubur anjlok. Mudah-mudahan saja tidak,'' katanya.