Ahad 19 Jul 2020 08:58 WIB

Apa DPR tidak Malu dengan Korban Kekerasan Seksual?

Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus naik.

Ilustrasi Pelecehan Seksual. (Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Pelecehan Seksual. (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*

Sulit menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan saat membaca berita kasus anak perempuan berusia 14 tahun di Lampung Timur, seorang penyintas pemerkosaan kembali diperkosa saat dititipkan di rumah aman Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Ironisnya, penyintas pemerkosaan itu, NF diperkosa oleh kepala P2TP2A yang dibayar negara untuk bertanggung jawab dalam melindungi perempuan dan anak di wilayah setempat.

Kasus yang terjadi di awal Juli 2020 itu semestinya dinobatkan sebagai tragedi bagi bangsa Indonesia. Kekerasan seksual terjadi di tempat yang kita sebagai warga negara iuran bayar pajak untuk membangun lokasi aman bagi penyintas kekerasan seksual. Pemerkosaan terhadap NF memang menyimpan ironi besar. Selain pemerkosaan berulang, pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak.

Peristiwa tragis itu diawali saat anggota keluarga sebagai orang terdekat justru menjadi pelaku kekerasan seksual. Pada Januari 2020, NF diperkosa oleh pamannya. Kasus pemerkosaan tersebut kemudian dilaporkan ke Polres Lampung Timur. Untuk mendapatkan pemulihan trauma, NF dititipkan di P2TP2A dengan didampingi dua petugas. Namun, NF kembali menjadi korban pemerkosaan. Pelakunya, Kepala P2TP2A sempat melarikan diri sebelum diantar keluarga menyerahkan diri ke kepolisian.

Sepekan setelah kasus NF mencuat ke publik, perempuan dan anak di Indonesia nampaknya harus kembali menghadapi darurat kekerasan seksual. DPR secara resmi menendang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pengkas) dari prioritas program legislasi nasional (prolegnas) 2020. Itu artinya, RUU Pengkas tidak akan dibahas oleh DPR hingga periode legislasi tahun ini berakhir.

Keputusan DPR mengeluarkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari prioritas Prolegnas 2020 tentu patut dikecam. Kasus NF itu hanya salah satu dari ribuan kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak di Indonesia. Data dari Komnas Perempuan mencatat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, di mana kekerasan seksual mencapai 4.898 kasus. Bahkan, selama 12 tahun sejak 2007, dalam catatan yang sama, kasus kekerasan seksual meningkat hingga 792 persen atau hampir 8 kali lipat. Sedangkan, sepanjang tahun ini pada Januari 2020 hingga 19 Juni 2020, telah ada laporan 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan maupun anak laki-laki.

Kondisi pandemi Covid-19 yang kita hadapi saat ini ternyata memperparah kekerasan terhadap perempuan. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menerima rata-rata 90 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan per bulan sejak Maret hingga Juni, meningkat dari sebelum pandemi sekitar 30 laporan kasus per bulan. Saat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual saat pandemi Covid-19 semakin banyak, DPR malah berbuat sebaliknya. DPR menganggap sulit untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual saat pandemi Covid-19. Meskipun, DPR sebenarnya belum membahas RUU Pengkas sejak ditetapkan sebagai prioritas prolegnas 2019-2020.

Jika merunut kembali inisiatif RUU Pengkas, pentingnya payung hukum itu bermula dari tingginya kasus kekerasan seksual sepanjang 2001-2011. Selama dekade tersebut, catatan Komnas Perempuan mengungkap kasus kekerasan seksual mencapai 25 persen kasus kekerasan terhadap perempuan. Atas kondisi itu, RUU Pengkas kemudian masuk prolegnas pada 2015-2016 meski telah didorong sejak lima tahun sebelumnya.

Pada 2016, terjadi kasus pemerkosaan yang menggegerkan publik Indonesia yaitu YY, seorang siswi SMP asal Bengkulu diperkosa dan dibunuh oleh 14 pemuda setempat. Selain disiksa, korban diketahui sudah meninggal saat pemerkosaan sedang berlangsung. Jasad korban kemudian dibuang ke jurang. Sederet kisah tragis itu (yang menuliskannya saja sudah buat menangis), nyatanya hanya membuahkan janji panitia kerja untuk membahasnya pada 2018 di Komisi VIII DPR RI. Hingga periode pemerintahan dan legislatif berganti, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih jadi rencana. Lebih miris lagi, muncul gelombang penolakan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan beragam alasan yang mengalihkan pokok permasalahan. Apa yang menolak itu tidak malu dengan almarhumah YY?

Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual menawarkan payung hukum yang belum tersedia dari perangkat aturan sebelumnya. Hal yang paling pokok dalam RUU Pengkas adalah keberagaman jenis kekerasan seksual yang diidentifikasi ke dalam 9 bentuk yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Penting untuk menggarisbawahi kata "pemaksaan" dalam bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut agar terang maknanya.

Berbagai bentuk kekerasan seksual yang diwadahi dalam RUU Pengkas itu juga komprehensif karena menyangkut ranah rumah tangga, komunitas, sekolah, dan tempat kerja. Hal itu berbeda dari perangkat hukum lain yang mengatur kekerasan seksual misalnya UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Perlindungan Anak yang hanya mengatur ruang lingkup terbatas. Poin penting selanjutnya dalam RUU Pengkas adalah jaminan hak korban yang meliputi hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan. Hak pemulihan korban tersebut tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini ada.

Di dalam sebuah diskusi daring yang diselenggarakan Departemen Kriminologi, FISIP UI pada 15 Juli lalu, Anggota DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari mengakui Komisi VIII enggan membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Hingga rapat paripurna DPR RI pada 16 Juli, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual resmi dikeluarkan dari prioritas prolegnas. Kita hanya bisa berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kembali masuk prioritas prolegnas periode 2020-2021. Kalau nanti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kembali tidak dibahas, sepertinya kita perlu berkabung atas peristiwa tragis kegagalan negara dalam melindungi anak dan perempuan. Lalu beramai-ramai menanyakan, apa DPR tidak malu dengan korban kekerasan seksual yang terus berjatuhan?

*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement