REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Komisariat Jakarta Selatan Muhammad Fadli mengatakan, perempuan tidak memerlukan sunat, berbeda dengan laki-laki. Ia menjelaskan, organ genitalia perempuan terlahir sudah optimal dan sempurna.
"Perempuan berbeda dengan laki-laki yang harus disunat untuk menghindari masalah kesehatan di kemudian hari," jelas Fadli melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.
Fadli mengatakan, sunat pada laki-laki memiliki prosedur standar operasional dan praktik yang seragam. Sementara itu, sunat pada perempuan tidak memiliki prosedur standar dan keseragaman di berbagai daerah.
Fadli menjelaskan, praktik sunat pada perempuan berbahaya karena merupakan tindakan sengaja yang dilakukan untuk mengubah atau mencederai organ genital perempuan tanpa ada indikasi medis yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Tindakan itu juga dapat membawa risiko komplikasi langsung maupun jangka panjang.
Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indra Gunawan mengatakan, praktik sunat pada perempuan berbahaya, tidak diperlukan, dan melanggar hak perempuan. Indra mengatakan, pemerintah berkomitmen menghapuskan segala bentuk praktik berbahaya seperti perkawinan anak dan sunat perempuan yang masuk dalam salah satu sasaran Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG's) hingga 2030.
"Pemotongan/perlukaan genital perempuan atau sunat perempuan merupakan praktik berbahaya yang secara eksklusif ditujukan kepada perempuan dan anak perempuan yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan hingga memicu depresi dan trauma," kata Indra.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pun mengajak seluruh masyarakat bersama-sama menghentikan praktik sunat pada perempuan karena melanggar hak dasar perempuan untuk memperoleh kesehatan, integritas tubuh, serta bebas dari diskriminasi dan perlakuan kejam atau upaya merendahkan martabat. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah memiliki peta jalan dan rencana strategis pencegahan sunat perempuan dengan target pencapaian hingga 2030.
"Kita sangat berharap seluruh anak perempuan dan perempuan di Indonesia terlindungi dari praktik-praktik berbahaya seperti perkawinan anak dan sunat perempuan," tuturnya.
Dari sisi agama, terutama agama Islam, KH Faqihuddin Abdul Kodir dari Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada mengatakan, hampir semua fatwa ulama di dunia telah mengharamkan praktik sunat perempuan. Yang terbaru, fatwa Lembaga Fatwa Mesir dan Universitas Al Azhar Mesir pada Februari 2020 setelah terdapat kasus anak perempuan meninggal karena disunat pada Januari 2020.
"Fatwa itu terang benderang dan dengan argumentasi kuat menyatakan khitan perempuan bukan bagian dari syariah karena hadist dan Qurannya tidak tegas. Itu bagian dari kebiasaan atau tradisi yang harus dikembalikan kepada yang kompeten, yaitu kedokteran," katanya.