REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA (HNW) mengapresiasi perjuangan Ormas-Ormas Islam (seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) serta Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menyampaikan aspirasi dan koreksi khususnya terhadap klaster Pendidikan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. HNW juga mendukung keputusan Pemerintah dan DPRRI yang mengakomodasi tuntutan tersebut dengan mencabut klaster Pendidikan dari RUU Omnibuslaw Ciptakerja, apalagi salah satu pasalnya memuat ketentuan “pasal karet” yang dapat mengkriminalisasi penyelenggara madrasah atau pesantren.
Menurut Hidayat, hilangnya ketentuan tersebut sebagai konsekuensi logis dari dicabutnya Klaster Pendidikan di RUU Ciptaker, yang merupakan hasil perjuangan pihak-pihak dari luar dan dalam parlemen.
“Dari luar parlemen ada sejumlah ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU, sedangkan dari dalam parlemen, ada Anggota Badan Legislasi FPKS Dr Mulyanto dan Wakil Ketua Komisi X dari FPKS; Dr Abdul Fikri Faqih yang sangat keras menyuarakan agar klaster pendidikan didrop dari RUU Ciptaker,” ujar Hidayat melalui siaran press pada Ahad (27/9).
Pencabutan klaster pendidikan dari RUU Ciptaker membuktikan bahwa penyusunan dan materi Omnibus Law RUU Ciptakerja banyak mengandung masalah, karenanya mengundang begitu banyak kritik dan penolakan, baik dari internal DPR maupun dari luar DPR.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menunjukan contoh kasus, sejumlah ketentuan dalam Klaster Pendidikan RUU Ciptaker yang mengubah beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang menjadi masalah. Yakni berbagai ketentuan yang kentara sekali bernuansa liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan.
“Itu semua jelas tidak sesuai dengan cita-cita Indonesia Merdeka, dan amanat UUD NRI 1945,” katanya.
Anggota Komisi VIII DPR RI ini mengungkapkan penarikan klaster pendidikan dalam RUU Ciptaker itu memang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Apalagi RUU itu telah menghadirkan kekhawatiran yang meluas, hingga kalangan pendidikan keagamaan (Islam) banyak yang resah, karena ada spirit sekulerisasi, liberalisasi dan materialisme dalam RUU tersebut, yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI 1945.
Misalnya, klaster pendidikan dalam RUU Ciptaker itu menghapus keberadaan dan peran lembaga “Raudhatul Athfal”, lembaga pendidikan keagamaan untuk anak-anak. Pencabutan itu diatur dalam Pasal 28 ayat (3) Klaster Pendidikan Omnibus Law RUU Ciptaker. Selain itu, beberapa ketentuannya juga berbau pasal karet yang bisa “melar” hingga membahayakan lembaga pendidikan keagamaan seperti madrasah dan pesantren dan para pengelolanya.
Menurut HNW, sesuai ketentuan UU, baik UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) maupun UU Pesantren, maka madrasah maupun pesantren termasuk dalam kategori lembaga pendidikan formal maupun non formal yang dikelola masyarakat. Menjadi masalah ketika diatur dalam aturan RUU Ciptaker dengan konsep omnibus law yang menjadi UU induk yang mencakup seluruh yang terkait dengan Pendidikan, baik yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun di bawah Kementerian Agama.
Pasalnya, Klaster Pendidikan dalam RUU Ciptaker menghadirkan ketentuan pada Pasal 71 dan Pasal 62 ayat (1), yang bermuatan pengaturan “pasal karet” dan bisa mengancam sanksi hukum pidana selama-lamanya 10 tahun, atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1 M, bagi penyelenggara lembaga pendidikan formal dan non formal yang belum memiliki izin. Ia mengkhawatirkan apabila diatur dalam Omnibus Law, maka ketentuan itu akan berlaku umum sehingga bisa menyasar lembaga pendidikan formal maupun non formal yang berada di bawah Kementrian Agama yaitu pesantren atau madrasah, serta para penyelenggaranya (Kiai dan Ustadz ), yag sebenarnya sudah memilik UU secara khusus, yakni UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
“Padahal pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal atau non formal, sudah punya aturan tersendiri, dalam UU yang bersifat lex specialis, yaitu UU Pesantren. UU terswbut tidak mencantumkan sanksi hukuman pidana atau denda. Jadi wajar bila banyak pihak dikalangan Pesantren dan Madrasah yang resah akibat adanya pasal karet seperti itu, yang potensial jadi ancaman terhadap Pesantren, Madrasah dan para Pengelolanya,” ujarnya.
HNW menjelaskan, pada Rapat Kerja terakhir Komisi VIII dengan Menteri Agama, dirinya juga sudah menyampaikan secara langsung kepada Menteri Agama, agar Menteri Agama ikut aktif menyuarakan keresahan Pesantren dan Umat, ikut mengkoreksi, baik dengan mengusulkan pencabutan klaster Pendidikan dari Omnibus Law RUU Ciptaker, atau agar menghadirkan ketentuan baru yang definitif dalam RUU Omnibuslaw klaster Pendidikan. Bahwa Lembaga Pendidikan Keagamaan formal maupun non formal hanya merujuk kepada UU Pesantren, dan agar Pesantren tidak diatur dalam pasal karet seperti dalam klaster Pendidikan RUU Ciptakerja yang bisa multi tafsir dan dipakai untuk mengkriminalisasi Pesantren atau Madrasah dan Para Pengelolanya.
Karenanya HNW bersyukur, bahwa klaster Pendidikan dalam RUU Ciptaker disepakati untuk dicabut oleh Pemerintah dan Baleg DPR. Dan dengan dicabutnya klaster pendidikan dari RUU Ciptaker ini, maka pasal karet yang bisa menyasar Pesantren dan para Pengelolanya, otomatis ikut dicabut.
Dengan demikian, aturan soal pendidikan umum dan pendidikan agama kembali kepada UU lex specialis-nya masing2, seperti UU Sisdiknas dan UU Pesantren, yang terbukti lebih baik, dan lebih sesuai dengan semangat reformasi dan konstitusi.
“Dengan demikian, akan amanlah lembaga pendidikan Agama dan penyelenggaranya (yakni para Kiai dan Ustadz) dari kemungkinan tersasar intervensi dan ancaman sanksi, akibat adanya “pasal karet” dalam Klaster Pendidikan RUU Ciptaker. Alhamdulillah!” pungkas HNW.