REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah tim peneliti di Amerika Serikat telah melaporkan kasus baru infeksi virus Covid-19 berulang yang dapat berimplikasi pada pengembangan vaksin. Di lain sisi, peneliti lain mengatakan, mutasi virus Covid-19 sejauh ini tampak tidak memiliki efek besar.
Pasien asal Seattle dalam penelitian AS sakit parah pada Maret lalu. Dia tertular virus dengan gen yang terkait dengan galur pertama virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Pada Agustus lalu, pasien tersebut kembali ke rumah sakit. Dia kena infeksi virus berbeda, yakni D614G yang merupakan virus mutasi.
“Hasil ini dapat memiliki keterlibatan penting untuk keberhasilan program vaksin berdasarkan galur virus Wuhan,” kata pemimpin penelitian dari The Swedish Medical Centre, Jason Goldman, dalam makalahnya, dilansir laman South China Morning Post, akhir September.
Tim Goldman mengatakan, pasien yang jenis kelaminnya tidak disebutkan itu adalah penghuni panti jompo berusia enam puluhan. Dia mungkin pertama kali tertular virus dari seorang anggota yang baru kembali dari Filipina dengan infeksi saluran pernapasan.
Pada bulan Maret, dia dirawat di rumah sakit selama lebih dari sebulan karena pneumonia parah yang terkait dengan Covid-19. Setelah sembuh, pasien pergi ke fasilitas perawatan baru.
Di sana, beberapa penghuni lainnya mengalami batuk. Pada Agustus, setelah dua pekan dengan batuk kering, pasien dikirim kembali ke rumah sakit dan dinyatakan positif Covid-19 lagi. Kali ini, dia kena infeksi jenis virus Covid-19 dengan mutasi D614G.
Menurut pemimpin program vaksin Covid-19 China, Chen Wei, mutasi merupakan perhatian utama saat ini. Setiap hari timnya memantau database internasional dari genom virus yang diurutkan di berbagai negara. Para peneliti mencoba untuk menentukan perubahan struktural atau fungsional yang disebabkan oleh mutasi Covid-19,termasuk D614G.
"Tapi sejauh ini dampak D614G diperkirakan sangat kecil,” ujar dia.
Sementara itu, tim Goldman menemukan bahwa sel kekebalan pasien Seattle membutuhkan waktu 18 hari untuk merespons infeksi kedua. Antibodi yang dikembangkan selama infeksi kedua juga memiliki respons yang lebih kuat terhadap variasi mutasi D614G daripada jenis Covid-19 Wuhan.
Para peneliti mengatakan bahwa ini adalah tanda bahwa antibodi yang terbentuk setelah infeksi pertama tidak memberikan perlindungan yang kuat terhadap infeksi kedua. Ada banyak laporan tentang kemungkinan infeksi berulang dari seluruh dunia, tetapi hanya sedikit kasus yang telah dikonfirmasi secara ilmiah.
Seorang pria (33 tahun) di Hong Kong terinfeksi kembali setelah melakukan perjalanan ke Eropa pada bulan Agustus, namun tidak menunjukkan gejala apa pun. Pun seorang pria (25 tahun) di Reno, Nevada, Amerika Serikat yang dinyatakan positif untuk kedua kalinya setelah pulih dari infeksi awal Covid-19. Dalam kedua kasus tersebut, para peneliti mendeteksi strain virus yang beredar di waktu dan wilayah yang berbeda.
Kasus infeksi berulang dengan virus yang bermutasi dapat berimplikasi pada vaksin. Sebab, hampir semua vaksin yang mendekati aplikasi massal dikembangkan berdasarkan urutan genom virus Covid-19 dan dirilis oleh para ilmuwan China pada Januari.
Menurut otoritas Cina, lebih dari 100 ribu sukarelawan di seluruh China, termasuk diplomat, insinyur, dan pekerja yang dikirim ke luar negeri, telah diberi suntikan kandidat vaksin. Dengan harapan antibodi dari vaksin akan memberikan perlindungan berkelanjutan terhadap infeksi berulang.
Pengembang vaksin milik negara China, Sinopharm Group, mengatakan ada beberapa bukti awal perlindungan dari vaksin potensial termasuk area di mana mutasi D614G terjadi. Di lain sisi, tim ilmuwan militer AS mengatakan, mutasi yang meluas seperti D614G jarang terjadi.