REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia akan tetap menganut kebijakan moneter dan makroprudensial yang akomodatif pada 2021. Gubernur BI, Perry Warjiyo menyampaikan BI akan menggunakan segala instrumen kebijakannya untuk menjaga stabilitas ekonomi.
"Untuk tahun 2021 kami akan terus melanjutkan kebijakan moneter dan makroprudensial yang akomodatif. Tentu bentuk instrumennya akan kami sesuaikan dengan pemantauan kami," kata Perry dalam Konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Kuartal III 2020, Selasa (27/10).
Baik dari sisi perkembangan ekonomi baik global, domestik, maupun kondisi sektor keuangan secara keseluruhan. Semua indikator dibahas dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan yang terus update secara berkesinambungan.
Perry optimistis ekonomi Indonesia di tahun depan akan lebih baik dengan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Inflasi diproyeksi juga akan tetap terkendali, tingkat Defisit Transaksi Berjalan (CAD) juga masih rendah yakni sekitar 1,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
"Tahun depan, kami meyakini aliran portofolio asing ke Indonesia juga akan lebih besar, baik untuk pendanaan APBN, pasar modal, dan juga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi kita," kata dia.
Ini pun tentu saja akan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah. Sementara itu, sepanjang 2020, BI terus melanjutkan kegiatan stabilisasi sistem moneter dan makroprudensial yang longgar. Selama kuartal III 2020, suku bunga kebijakan BI kembali diturunkan 25 bps menjadi empat persen.
Dengan demikian pada tahun 2020 BI sudah menurunkan 100 bps atau 200 bps sejak Juli 2019. BI juga memperkuat bauran kebijakan. Pertama melanjutkan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar.
Kedua, melanjutkan ekspansi atau injeksi likuiditas atau yang biasa disebut Quantitative Easing ke pasar keuangan dan perbankan. Ketiga, melanjutkan komitmen pendanaan APBN tahun 2020 melalui pembelian surat utang negara dari pasar perdana serta mendukung program pemulihan ekonomi nasional.
Keempat, memperpanjang periode insentif kelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 bps bagi bank yang melakukan kredit UMKM. Serta, ekspor impor, kredit non UMKM sektor prioritas dalam program ekonomi nasional sampai 30 Juni 2021.
Kelima, memberikan jasa giro kepada bank yang memenuhi kewajiban GWM dalam rupiah. Dan keenam, melanjutkan perluasan akseptasi QRIS untuk percepatan pemulihan ekonomi dan keuangan digital khususnya UMKM sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi nasional.