REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG — Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan menyatakan bencana banjir di Kabupaten Muara Enim pada awal musim hujan penghujung Oktober 2020 ini merupakan dampak dari masifnya eksploitasi sumberdaya alam (SDA).
"Kami mencatat pada Oktober ini ada bencana tanah longsor di areal tambang batu bara milik rakyat mengakibatkan 11 pekerja tambang meninggal dunia, dan banjir bandang yang mengakibatkan ratusan rumah rusak berat dan ringan," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel M Hairul Sobri di Palembang, Senin (2/11).
Melihat fakta tersebut, masyarakat dan instansi terkait diharapkan melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan bencana hidrometeorologi/ekologis yang selalu terjadi pada setiap musim hujan itu lebih maksimal lagi.
"Kemudian untuk mencegah bencana tersebut tidak semakin parah, pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus mengendalikan bahkan bersikap tegas menghentikan investasi dan eksploitasi SDA," katanya.
Menurut dia, bencana hidrometeorologi karena akumulasi kerusakan akibat kesalahan pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam serta eksploitasi karena kepentingan industri.
Banyaknya korban dan kerugian yang disebabkan bencana hidrometeorologi tersebut menunjukkan telah terjadi ketidakseimbangan ekologis, yang kemudian memicu perubahan iklim.
Perubahan iklim menimbulkan bencana ekologis dengan dampak yang sangat luas dirasakan oleh masyarakat, kondisi tersebut menandakan ada sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan SDA di provinsi dengan 17 kabupaten dan kota ini.
Bencana hidrometeorologi terutama banjir dan tanah longsor diperkirakan masih akan terjadi di Kabupaten Muara Enim dan daerah lainnya dalam wilayah Sumsel.
“Menghadapi musim hujan hingga beberapa bulan ke depan, masyarakat serta instansi terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan bencana yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan korban jiwa,” kata Direktur Walhi Sumsel.