REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan, agar tidak terjadi diskriminasi di barak pengungsian yang disediakan untuk warga di sekitar Gunung Merapi. Sultan menyebut, pernah terjadi diskriminasi agama di tempat pengungsian berdasarkan pengalaman erupsi Merapi di 2010.
Saat itu, kata Sultan, tempat pengungsian hanya dapat diisi oleh masyarakat dari agama tertentu. Sultan meminta kepada Pemerintah Kabupaten Sleman untuk mencegah hal tersebut terulang kembali.
"Saya minta bupati dengan perangkat forkompinda agar tidak ada lagi pengungsian yang didominasi agama tertentu. Sehingga (agama) yang lain tidak boleh masuk. Saya tidak mau itu terjadi lagi,' kata Sultan saat mengunjungi barak pengungsian di Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Selasa (10/11).
Barak pengungsian tersebut menampung 195 orang warga di sekitar Gunung Merapi. Evakuasi sendiri sudah dilakukan sejak Sabtu (8/11) lalu menyusul meningkatnya status aktivitas Gunung Merapi menjadi level III atau siaga.
Sultan juga meminta agar kesehatan warga di tempat pengungsian terus dijaga. Termasuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin terhadap warga yang mengungsi.
Terutama bagi kelompok rentan. Seperti lanjut usia (lansia), anak-anak hingga disabilitas.
"Saya berharap dijaga kesehatannya, makannya. Baik susu untuk bayi maupun anak-anak yang memerlukan makanan," jelasnya.
Sultan mengingatkan, kepada seluruh warga dan petugas yang ada di barak pengungsian untuk menjalankan protokol tersebut dengan ketat dan disiplin. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 di tempat pengungsian, mengingat potensi meluasnya penyebaran Covid-19 di DIY masih dapat terus terjadi.
"Covid-19 juga menjadi pertimbangan. Jangan sampai justru di dalam pengungsian timbul masalah baru bagi kita di DIY," ujarnya.