Oleh : Nashih Nashrullah*
REPUBLIKA.CO.ID, Islamophobia, jika diartikan kebencian dan kekhawatiran terhadap Islam maka gejala itu muncul sejak pertama kali risalah ini diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW, dan eksistensinya pun tampaknya akan langgeng layaknya pertarungan antara yang hak dan batil, kebaikan dan kejahatan, menjadi rival abadi dalam hidup.
Selama berdakwah di Makkah, berbagai bentuk intimidasi, kebencian, dan perlawanan masyarakat Arab jahiliyah datang silih berganti. 'Propaganda' keyakinan baru masih menjadi faktor dominan, mengapa 'Islamophobia' dalam bentuk dan definisi yang sangat sederhana ketika itu muncul. Mereka tidak ingin keyakinan yang selama ini diwarisi turun-temurun dari nenek moyang terganggu oleh agama Muhammad SAW.
Implikasinya pun tak jauh beda dengan Islamophobia yang muncul pada era sekarang. Ada unsur penindasan (oppression) dan kelaliman (despotism). Hanya saja gejala 'alergi' Islam bahkan hingga menjalar ke anti-Arab pada era modern, memiliki dimensi yang sangat kompleks, tidak hanya soal ideologi, tetapi juga bersinggungan dengan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Jangan heran bila Islamophobia menurut satu analisis dan perspektif adalah salah satu 'mainan' baru dari otoritas kecil, atau bahkan segelintir oknum berwenang di Barat untuk memunculkan musuh bersama setelah tumbangnya Uni Soviet pada 1991. Desakan dari sejumlah kalangan semakin menguat untuk mencari 'musuh' pengganti sekaligus musuh bersama, lantas nama Islam didorong ke permukaan.
Ini setidaknya tergambar jelas dari pernyataan mantan sekjen NATO, Willy Claes, kepada media Inggris, The Independent. “Ancaman yang dibawa oleh Islam adalah tantangan terberat yang dihadapi Barat pascaruntuhnya Uni Soviet dan faksi sosialis serta melemahnya pengaruh komunisme.”
Peristiwa (9/11), dijadikan sebagai titik tolak untuk memperkuat misi tersebut. AS dan sekutunya pun kemudian melakukan berbagai 'serangan', baik secara langsung atau tidak terhadap negara-negara yang distigmakan sebagai 'pengekspor' teroris dari Afghanistan, Irak, Libya, Suriah, dan terakhir Yaman. Dalihnya bisa beragam, termasuk demokratisasi negara-negara Muslim di Timur Tengah, meski faktanya, harus dibayar mahal!
Dalam kerangka teori benturan antarperadaban, Samuel P Huntington (The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order; 1996) melihat perang menumpas terorisme sebagai perbenturan kebudayaan Barat dan Timur. Identitas budaya dan agama akan menjadi sumber utama konflik dalam dunia pasca-Perang Dingin, yaitu hubungan bermusuhan antara negara-negara komunis pimpinan Uni Soviet dan negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat antara sekitar 1946 dan 1989.
Bagi Huntington, sikap Barat sangatlah naif ketika meyakini bahwa nilai dan sistem politik Barat bisa dipraktikkan di mana saja. 'Pemaksaan' Barat agar konsep nilai dan sistem mereka berlaku di negara-negara Islam, justru memunculkan permusuhan dan benturan yang luar biasa.
Di sisi lain, nuansa ekonomi juga sangat kental dari fenomena Islamophobia tersebut. Siapakah yang diuntungkan dari total anggaran yang dibelanjakan oleh Kementerian Pertahanan AS pada 2010 yang mencapai 663.8 miliar dolar AS akibat Islamofobia yang dibungkus dengan kerangka perang melawan terorisme dan demokratisasi? Sebagai konsekuensi dari tingginya angka pengeluaran militer itu, AS harus memeras otak untuk mendapatkan timbal balik. Agresi militer ke Irak pada 2003 menurut banyak pakar, lebih dilatarbelakangi oleh keinginan AS untuk menguasai bisnis minyak di kawasan.
Kekhawatiran Barat akan pergeseran nilai dan tradisi mereka yang terbangun selama berabad-abad pascamelonjaknya gelombang imigran Muslim, juga tak bisa dianggap sebelah mata sebagai faktor penyebab merebaknya Islamophobia. Kedatangan mereka ke negara tujuan tentu dengan mempertahankan ideologi, budaya, dan tradisi mereka. Menurut laporan Sunday Telegraph, Inggris, jumlah imigran Muslim pada 2008 menduduki lima persen dari persentase penduduk Eropa.
Jumlah populasi Muslim di negara-negara Eropa tersebut diprediksi akan melesat ditambah angka kelahiran hingga 20 persen pada 2050. Pew Research menegaskan bahwa Islam adalah agama yang tiga kali lipat paling cepat perkembangan populasinya di Eropa dibandingkan 30 tahun yang lalu. Bisa dibayangkan bagaimanakah dinamika sosial dan budaya yang timbul akibat gelombang migrasi itu. Tentu, kita semua berharap bahwa 'tatanan dunia baru' (new world order) yang didambakan benar-benar memberikan maslahat untuk semua, bukan segelintir negara dengan jargon dan propagandanya yang tendensius. Mestinya, dunia ini saling menghormati dan menghargai, bukan malah menebar kebencian dan saling memusuhi.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id