REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain tentang kisah Nabi Zakaria dan Nabi Isa AS, Surat Maryam juga menceritakan tentang seorang putra yang shaleh, Nabi Ibrahim AS. Dia dilindungi Allah dari kesesatan ayahnya dan beruntung tidak menyembah berhala seperti sang ayah.
Nabi Ibrahim AS mencoba menasihati sang ayah seperti yang tercantum dalam ayat 44-45:
يٰٓاَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطٰنَۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلرَّحْمٰنِ عَصِيًّا
يٰٓاَبَتِ اِنِّيْٓ اَخَافُ اَنْ يَّمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمٰنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطٰنِ وَلِيًّا
Yā abati lā ta’budisy-syaiṭān, innasy-syaiṭāna kāna lir-raḥmāni ‘aṣiyyā. Yā abati innī akhāfu ay yamassaka ‘ażābum minar-raḥmāni fa takụna lisy-syaiṭāni waliyyā.
“Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan. Sungguh, setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi setan.”
Kisah ini memberikan inspirasi bagi semua orang yang hidup dengan keluarga yang sulit. Dari ayat tersebut bisa dipahami tidak ada kata terlambat untuk teguh dalam keyakinan agama meskipun orang tua Anda tidak sama.
Allah memerintahkan kita untuk sangat lembut dalam cara menasihati agama kepada orang dewasa, khususnya kepada orang tua kita. Anak-anak yang menjadi religius dan memperlakukan keluarga mereka dengan kasar tidak benar-benar memahami warisan Nabi Ibrahim AS.