REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Produsen pesawat asal Eropa, Airbus, kehilangan 1,1 miliar euro atau 1,3 miliar dolar AS sepanjang 2020. Kondisi ini terjadi di tengah kemerosotan global yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sektor penerbangan udara akibat pandemi.
Namun, Airbus berharap mendapatkan keuntungan pada tahun ini meskipun masih ada ketidakpastian mengenai kapan masyarakat akan melanjutkan terbang secara massal.
Airbus juga mendorong negosiasi 'gencatan senjata' dalam waktu dekat dalam perselisihan perdagangan selama bertahun-tahun dengan saingannya dari AS, Boeing. Langkah ini dilakukan mengingat adanya harapan bahwa pemerintahan Presiden Joe Biden akan lebih setuju mencapai kesepakatan dibandingkan Donald Trump.
Seperti dilansir Reuters, Kamis (18/2), perselisihan antara Boeing dengan Airbus telah menghasilkan tarif miliaran dolar AS.
CEO Airbus Guillaume Faury mengakui, kinerja perusahaan pada tahun lalu jauh dari ekspektasi. Perusahaan akan terus beradaptasi di tengah pembatasan perjalanan udara karena pembatasan aktivitas, termasuk dengan pemangkasan tenaga kerja.
Pada Juni, Airbus mengumumkan akan memangkas 15 ribu pekerja, sebagian besar di Prancis dan Jerman. Faury menekankan, krisis yang dialami perusahaan belum berakhir.
"Sepertinya akan terus nyata sepanjang tahun. Industri terus menderita dan akan membakar uang tunai," ucapnya.
Airbus memproyeksikan, kinerja industri penerbangan akan pulih ke tingkat pra pandemi hingga setidaknya 2025. Ketika itu terjadi, Airbus memperkirakan ada masalah lingkungan yang semakin penting bagi penumpang dan produsen, sehingga Airbus berencana meningkatkan investasi untuk pesawat hidrogen dan emisi lebih rendah.
Penjualan Airbus tercatat turun menjadi 49,9 miliar euro dari 70 miliar euro pada tahun sebelumnya. Perusahaan juga melaporkan kerugian pada 2019 karena penyelesaian korupsi multionasional yang besar.
Pada tahun lalu, Airbus mengirimkan 556 pesawat dan menargetkan angka yang sama pada tahun ini. Pesanan pesawat komersial mengalami penurunan paling signifikan, dari 768 buah menjadi 268 pesawat pada 2020.
Kedua angka itu turun jauh dari angka normal beberapa tahun terakhir, namun masih di atas angka Boeing yang mengalami kesulitan.
Boeing Co mendapat lonjakan pesanan dan pengiriman pesawat baru pada Desember, namun tidak cukup untuk menyelamatkan pesanan pada tahun lalu. Perusahaan mengalami pembatalan terus menerus terhadap jet 737 MAX-nya, yang dilarang terbang selama 21 bulan setelah kecelakaan di Ethiopia dan Indonesia.
Dengan kondisi dua produsen yang sama-sama merugi, direktur eksekutif Airbus menyebutkan, tarif AS-Uni Eropa sebagai situasi ‘lose-lose’ bagi semua orang. Tarif tersebut berasal dari perselisihan mengenai subsidi negara untuk Airbus dan Boeing yang dianggap tidak adil oleh tiap pihak.
Setelah ketegangan memburuk di bawah kepemimpinan Trump, Faury menyebutkan pihaknya kini sudah siap untuk gencatan senjata dan menangguhkan tarif. "Serta untuk mengadakan negosiasi dan bergerak maju," katanya.