REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Cirebon sepanjang 2020 mengalami peningkatan signifikan. Dari kasus-kasus itu, kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) paling mendominasi.
Hal itu terungkap berdasarkan data yang disampaikan WCC Mawar Balqis, lembaga pendampingan perempuan dan anak di Kabupaten Cirebon. Pada 2020, lembaga itu mencatat ada 240 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sedangkan pada 2019, kasus yang tercatat ada 144 kasus.
Angka tersebut merupakan angka yang terlaporkan ke WCC Mawar Balqis, dan merupakan kompilasi dari data pengaduan yang ada di unit PPA Polres Cirebon dan P2TP2A Kabupaten Cirebon.
"Di masa pandemi, kasus kekerasan seksual dan KDRT paling banyak dilaporkan," ujar Manager Program WCC Mawar Balqis, Sa'adah, Kamis (25/2).
Sa’adah menyebutkan, dari 240 kasus kekerasan yang dilaporkan, 104 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual. Sedangkan KDRT, menempati urutan kedua dengan 99 kasus. Sisanya, terdiri dari kasus lainnya, salah satunya traficking.
Dilihat dari usia, korban kekerasan yang ditangani WCC Mawar Balqis didominasi anak-anak dari mulai 6 hingga 13 tahun. Adapula balita dengan rentang usia 0-5 tahun, remaja di usia 13 sampai 24 tahun dan dewasa di usia 24 hingga 40 tahun keatas.
"Di antara korban dan pelaku, kebanyakan memiliki hubungan yang dekat, seperti keluarga dan teman maupun tetangga," ungkap Sa’adah.
Sa’adah menilai, tantanan penanangan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat banyak. Salah satunya, perspektif masyarakat yang masih menganggap korban adalah aib.
Belum lagi akses layanan dari mulai kesehatan, hukum dan psikologis. Di Wilayah Ciayumajukuning, layanan tersebut masih terbatas.
Khusus untuk korban kekerasan seksual, Sa’adah mengungkapkan, dibutuhkan pemulihan psikologis yang tidak berbatas waktu karena lukanya seumur hidup. Trauma pun bisa muncul tiba-tiba sepanjang hidup korban.
"Belum lagi, korban harus berhadapan dengan stigma yang dilekatkan masyarakat, victim blaming dan masih belum berpihaknya hukum positif yang berlaku di Indonesia," tukas Sa’adah.
Sa’adah menambahkan, korban kekerasan seksual usia dewasa saat ini juga masih sulit untuk mengakses layanan hukum. Hal itu menunjukan bahwa program perlindungan terhadap perempuan belum sepenuhnya dirasakan korban.
Melihat tantangan dalam penanganan kasus tersebut, Sa’adah mendorong agar P2TP2A lebih bersinergi dengan gugus tugas yang ada dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus. Aparat penegak hukum pun mesti menyiapkan penyidik perempuan dan berspektif korban.
Selain itu, Sa’adah meminta agar DPRD Kabupaten Cirebon memainkan perannya untuk monitoring implementasi Perda No 1 Tahun 2018 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Legislatif pun diharap mendukung dan mendorong lahirnya kebijakan penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak hingga ke tingkat desa.
"Kami juga mendesak pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual," tegas Sa’adah.
Sementara itu, kasus kekerasan seksual terhadap anak yang pernah mendapat sorotan di Kabupaten Cirebon di antaranya menimpa seorang gadis yang dicabuli ayah kandungnya sendiri, MH (35). Akibat perbuatan itu, korban menjadi hamil.
Korban tak kuasa melawan karena pelaku mengancam akan membunuhnya. Kasus itu berhasil dibongkar jajaran Polresta Cirebon pada November 2020 silam.
Selain kasus itu, adapula kasus pencabulan yang dilakukan seorang pria berinisial YN (42), kepada anak tirinya. Bahkan, pelaku melakukan perbuatan bejatnya saat korban masih TK.