REPUBLIKA.CO.ID, CIAMIS -- Pihak sekolah hanya mampu menyediakan enam HT yang tersebar di lima kelompok diantaranya di Dusun Ciakar, Karang Petir, Munggangwareng, Jambu Dipa, dan Karang Wangkal.
Dari enam HT tersebut, dua diantaranya sudah menggunakan antena permanen yang menggunakan frekuensi VHF dengan sistem "direct" lantaran tak memiliki "repeater". HT yang menggunakan antena eksternal dipasang oleh orang tua siswa yang dijadikan tempat berkumpulnya beberapa siswa dalam sebuah kelompok belajar.
Bagi kelompok yang pesawat HT-nya tidak menggunakan antena eksternal, mereka harus rela mencari frekwensi yang dapat menangkap pancaran dari HT sang guru. Untuk mendapatkan frekuensi yang tepat, tak jarang siswa harus berjalan beramai-ramai mencari titik tertentu. Bisa di pinggir jalan, kebun, bahkan dalam hutan.
Beragam lika-liku perjuangan tersebut dilakukan lantaran di perkampungan tersebut tidak tersedia koneksi internet yang memadai. Selain itu subsidi kuota internet untuk belajar dari pemerintah juga tidak bisa digunakan karena keterbatasan kepemilikan gawai, dan juga tidak ada koneksi internet yang cukup di daerah tersebut.
Meski tidak sempurna, setelah berbagai uji coba, para guru dan murid akhirnya mengandalkan HT sebagai solusi pembelajaran jarak jauh. Semangat belajar dan mengajar para siswa dan guru menjadi modal dasar pembelajaran tetap bisa berlangsung di tengah keterbatasan akses komunikasi berbasis internet.