'Materi Akademik tak Cukup dalam Sistem Zonasi'
Red: Fernan Rahadi
Workshop penguatan perubahan paradigma menuju sekolah menyenangkan bersama Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) di SMAN 1 Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (20/5). | Foto: dokpri
REPUBLIKA.CO.ID, MUNTILAN -- Konsekuensi utama dari sistem zonasi saat ini adalah semakin tingginya disparitas input siswa. Hal ini berdampak pada kesenjangan akademik dan motivasi. Dengan kondisi yang berbeda, maka guru-guru didorong untuk melakukan perubahan.
"Sebelum ada zonasi, dipantik materi sedikit anak sudah jalan bahkan lari. Sekarang, dengan sistem zonasi anak-anak menjadi sangat heterogen sehingga kami sadar bahwa kami harus memberikan perlakuan yang berbeda," ungkap seorang guru SMAN 1 Muntilan, Titik, di sela-sela workshop penguatan perubahan paradigma menuju sekolah menyenangkan bersama Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) di SMAN 1 Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (20/5).
Menurut Titik, hambatan SMAN 1 Muntilan untuk berubah selama ini adalah terfokusnya guru terhadap tuntutan akademik saja. Melalui penyampaian materi dari guru SMKN 1 Jambu Kabupaten Semarang, Ali Sodikin, Titik menyadari bahwa akademik saja tidak cukup. Cara untuk meningkatkan motivasi siswa adalah dengan menemukan passion dan talenta anak lalu mengembangkannya.
Ali dalam paparannya kemarin mengingatkan para guru untuk menemukan dirinya (inventing yourself). Artinya, guru-guru diminta untuk menemukan kembali falsafah awal peran guru sebagai pendidik itu apa ketika awal mengambil profesi ini.
"Profesi guru adalah sebagai begawan yang menjadi panutan, teladan, pengarah, penuntun dan pemberi ilmu. Tidak hanya berhenti di ruang-ruang kelas dan penyampaian materi saja, tetapi visi misi jangka panjang untuk memberikan pelayanan terhadap anak untuk menemukan potensi dirinya, si penerus bangsa. Dengan pendekatan GSM, guru diharapkan dapat terbuka mindset untuk kembali ke falsafah awal tugas guru," kata Ali.
Menurut Ali, pesan ini menjadi kuat dan relevan karena selama ini pola pikir (mindset) adalah kendala utama dalam dunia pendidikan. Padahal, permasalahan nyata yang akan dialami oleh anak didik di masa akan datang bukan zonasi, tetapi tantangan lapangan pekerjaan baru akibat peradaban yang terkuasai oleh teknologi. Sehingga, hal yang perlu dipersiapkan oleh anak-anak bukan lagi mengejar nilai bagus, tetapi bagaimana beradaptasi dalam perubahan tersebut. Sistem pendidikan yang serba banyak masalah ini harus dimulai dari perubahan mindset garda terdepan pendidikan, yaitu guru.
"Guru harus berubah karena kesiapan anak bergantung pada siap tidaknya guru dalam menghadapi perubahan. Jadi, ayo kita berubah dulu," ujar Titik mengamini pendapat Ali.
Menurut staf internal GSM, Lily Halim, workshop yang dihadiri oleh narasumber kepala sekolah dan guru SMA dan SMK ini berkolaborasi untuk mewujudkan komunitas penggerak GSM di wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Kegiatan ini merupakan penguatan kolaborasi komunitas SMA di Jawa Tengah bagian selatan, yang terdiri atas SMAN 1 Sleman dan SMAN 3 Rembang.
"Ke depannya, saya berinisasi menjadikan kesempatan ini sebagai peluang SMAN 1 Muntilan sebagai sister school dari SMAN 3 Rembang. SMAN 1 harus dan pasti bisa berubah dan bergerak bersama untuk melakukan perubahan," kata Lily yang juga mantan kepala sekolah SD Kalam Kudus tersebut dalam siaran pers, Jumat (21/5).
Menurut Titik, satu hari workshop GSM memang kurang. Namun begitu, inhouse training SMAN 1 Muntilan ini akan berlanjut keesokan harinya untuk membentuk tim GSM SMAN 1 Muntilan. Dalam waktu terdekat, tim ini berencana akan mengunjungi SMAN 3 Rembang dan SMAN 1 Sleman untuk melihat implementasi GSM yang telah dilakukan terlebih dahulu di kedua sekolah ini.
Selain pemaparan perubahan mindset dari Ali, penjelasan mengenai implementasi GSM di SMAN 1 Sleman disampaikan secara langsung oleh Kepala Sekolah SMAN 1 Sleman, Fadmiyati serta guru SMAN 3 Rembang yang tersambung secara daring, Yulianto Kurniawan dan Rini.