Perlunya Membangun Nilai-nilai Cendekiawan Muslim
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Perlunya Membangun Nilai-nilai Cendekiawan Muslim (ilustrasi). | Foto: google, com
REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Ketua Prodi Ahwal Syakhshiyah UII, Prof Amir Mu'allim mengatakan, nilai-nilai tokoh intelektual Islam harus memiliki dasar yang kuat. Hal itu agar diskusi yang dibahas tidak melampau nilai-nilai spiritual keislaman itu sendiri.
Amir menekankan, ketika membahas Islam harus ada pegangannya yaitu Alquran dan Sunnah karena itu jaminan bagi kita semua. Lalu, Amir menerangkan, jika kita berbicara tentang pemikiran itu pasti akan ada banyak keragaman pendapat.
"Tapi, saya yakin latar belakangnya sama yakni untuk kebaikan," kata Amir dalam diskusi nasional yang diselenggarakan Jurusan Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama, Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII), Jumat (30/7).
Ia menekankan, dalam menelaah kajian mengenai studi pemikiran tokoh-tokoh Islam, perlu satu tokoh yang jadi sandaran bagi semua ulama, termasuk cendikiawan. Itu karena Nabi Muhammad merupakan manusia paling ideal dan pantas menjadi teladan.
Jika kita menyangkut masalah ketokohan, maka kita harus ada ketokohan sentral, Nabi Muhammad. Jadi, Nabi Muhammad itu tokoh sentral dan sekaligus tokoh inti, sehingga dari berbagai macam temuan pendapat pemikiran tetap kembali ke sentral.
Amir juga menyayangkan kurangnya ambisi akademisi maupun pelajar dalam menggali nilai-nilai fundamental yang ada dari tokoh cendikiawan Muslim. Banyak akademisi sibuk diskusi tokoh Muslim, tapi jarang mengamalkan keseharian tokoh tersebut.
"Sehingga, itu berputar di pikiran semata bukan menjadi bagian dari aksi nyata dalam membangun nilai-nilai keislaman," ujar Amir.
Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo, Dr Aksin Wijaya menuturkan, kita tidak boleh fanatik terhadap intelektual Muslim tertentu saja. Hal itu karena setiap tokoh sendiri banyak dipengaruhi oleh perbedaan zaman dan letak geografisnya.
Maka itu, perbedaan pendapat antara satu tokoh dengan tokoh lain menjadi sesuatu yang lumrah. Aksin menekankan, seorang pemikir yang hidup dalam sejarah yang berbeda akan mengalami perbedaan, sehingga pemikiran itu bersifat historis.
"Kita tidak boleh fanatik terhadap satu pemikiran karena pemikiran itu ditentukan historisitas dari seorang pemikir itu tadi," kata Aksin.