UII Masih Bingung MK Tolak Judicial Review UU KPK
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Kampus UII. | Foto: Wahyu Suryana.
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Rektor Universitas Islam Indonesia, Prof Fathul Wahid mengingatkan, UII pada November 2019 memutuskan memohon judicial review atas UU KPK. Ia menilai, permohonan judicial review merupakan bentuk jihad konstitusional.
"Bukti kami mencintai Indonesia, sebagaimana yang diajarkan para pendiri UII, jangan lelah mencintai bangsa dan negara ini," kata Fathul dalam webinar Eksaminasi Publik Putusan MK Atas UU KPK yang digelar PSH FH UII, Sabtu (31/7).
Setelah banyak sidang lebih dari satu tahun, 4 Mei 2021, MK membacakan putusan atas permohonan UII bersama enam permohonan lain. MK menolak permohonan formil dan menyetujui beberapa permohonan materiil, meskipun dengan argumen berbeda.
Sebagai pemohon, Fathul mengaku tidak begitu kaget ketika permohonan uji formil UII ditolak MK. Tapi, ia mengungkapkan, yang mengagetkan karena bayangan mereka kalaupun ditolak, lebih dari satu hakim yang mampu mengajukan dissenting opinion.
Namun, ternyata hanya satu yang sependapat dengan UII kalau ada cacat formil dalam penyusunan UU KPK yaitu Hakim MK Wahiduddin Adams. Padahal, ia mengingatkan, prosesnya saja sudah tidak memenuhi standar akal sehat.
"Yang lebih mengagetkan bagaimana argumen dibangun dalam putusan untuk menolak permohonan kami dan yang lainnya. Itu impresi saya, seseorang yang bukan ahli hukum. Karenanya, bisa jadi salah, dan saya tidak akan masuk lebih jauh," ujar Fathul.
Namun, Fathul mengaku sadar putusan MK bersifat final, walaupun masih merasa galau dan mencari cara meyakinkan diri bagaimana memahami secara logika dan argumen yang dibangun dalam putusan tersebut. Apalagi, menjadikannya ilmiah.
"Sampai hari ini, kami belum menemukan cara untuk menjadikannya masuk akal. Bagi dosen-dosen hukum, jawaban kegalauan ini jadi sangat penting untuk menjelaskan kasus ini kepada mahasiswa yang akan jadi pengawal hukum Indonesia masa depan," kata Fathul.