REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, turunnya kinerja industri manufaktur nasional merupakan dampak penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4. Pembatasan tersebut menurutnya, membuat kegiatan semua sektor otomatis menurun.
Penurunan sektor manufaktur terlihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang diumumkan IHS Markit. PMI itu berada di posisi 40,1 pada Juli, sebelumnya mencapai 53,5 pada Juni.
"Itu kan tergantung kepada aktivitas manufaktur kita. Kalau aktivitas manufaktur kembali normal, otomatis angka (PMI Manufaktur Indonesia) balik lagi," ujar Hariyadi saat dihubungi Republika.co.id, Senin (2/8)
Ia menjelaskan, pandemi masih akan terus menjadi gangguan, karena kasus positif Covid-19 masih tinggi, jumlah pasien yang wafat pun semakin banyak. Maka, kata dia, belum ada kepastian kapan industri manufaktur bisa bergerak normal.
"Dengan kondisi seperti itu, pertama, harus atur yang tidak terganggu misal ekspor, bagaimana caranya jangan sampai alami gangguan. Kedua, terkait produk kebutuhan masyarakat, selama bisa dikerjakan tetap kejar, tidak hanya yang esensial dan kritikal yang di luar itu juga dilihat," tutur dia.
Menurutnya, sektor industri manufaktur yang nonesensial justru lebih besar dan berpotensi. "Misal terkait kebutuhan pokok masyarakat, tekstil garmen tetap diperlukan, lebih intens lagi terkait produk makanan itu masih bisa digenjot. Pokoknya terkait manufaktur yang support kebutuhan masyarakat didorong," katanya.
Di sisi lain, lanjut dia, upaya atasi pandemi tidak boleh kendor. "Kuncinya di situ, di luar Pulau Jawa kita lihat kasus (Covid-19) mulai naik, kalau ganti-gantian nggak beres-beres. Maka upaya penanganan pandemi harus ditingkatkan," ujar Hariyadi.
Kompensasi bagi dunia usaha pun, sambungnya diperlukan, salah satunya terkait diskon tarif listrik dan peniadaan tarif minimum listrik. "Kita sudah nggak tahulah, permintaan insentif tarif listrik saja tidak digubris. Kita minta bantu tarif listrik saja sampai sekarang nggak tau tanggapannya, alesannya inilah itulah, serba susah," tuturnya.
Pemerintah, lanjut dia, memang telah menggelontorkan beberapa insentif bagi dunia usaha. Hanya saja sedikit pengaruhnya.
"Korporasi dibiarkan survive sendiri. Misal kebijakan Pph 25, yang nikmati perusahaan yang tidak ada masalah, kalau perusahaan yang bermasalah ya rugi dan nggak bayar pajak. Lalu kebijakan Pph 21 juga untuk perusahaan yang nggak turunin gaji karyawannya, kalau yang gaji karyawannya turun ya nggak bayar juga. Jadi insentif pemerintah ini bukan nggak bermanfaat tapi sasarannya nggak tepat," jelas dia.
Menurutnya penanganan pandemi dan ekonomi harus berjalan bersama, karena dari awal pemerintah tidak memilih pemberlakuan karantina wilayah atau lockdown. Hariyadi sadar hal tersebut tidak mudah, namun harus tetap dilakukan.
"Penanganan pandeminya harus masif. Hanya saja target vaksin satu juta sehari saja nggak bisa kejar dan testing masih mahal di atas Rp 700 ribu untuk PCR," kata dia.