Guru Besar Filsafat UGM: Kearifan Lokal Perlu Diperkuat
Red: Fernan Rahadi
Kampus UGM Yogyakarta. | Foto: Wahyu Suryana.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia dinilai sangat kaya. Bahkan, sulit bagi negara lain untuk menemukan local wisdom-nya sendiri yang sehebat dan sekaya Indonesia.
Hal itu disebabkan kearifan lokal dipercaya dapat membentuk sebuah nilai karakter bangsa. Indonesia memiliki jalan terbuka lebar untuk menjadi negara maju melalui local wisdom yang menjadi sebuah kekuatan bangkit dan maju unjuk gigi di kancah dunia.
Sayangnya, bangsa ini masih terhimpit berbagai permasalahan yang terus menerus menjangkiti. Di antaranya adalah ideologi-ideologi impor (transnasional) yang berupaya menghilangkan kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia.
Guru Besar bidang Ilmu Filsafat dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Mukhtasar Syamsuddin mengungkapkan gagasannya menghadapi kondisi tersebut. "Kajian tersebut difokuskan pada upaya menemukan bukti-bukti empirik dan rasional untuk mempertegas pengertian Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai kebudayaan daerah yang bermuatan kecerdasan lokal atau local genius masyarakat,” ungkap Prof Mukhtasar Syamsuddin di Yogyakarta, Jumat (3/9).
Lebih lanjut Prof Mukhtasar mengingatan kembali tentang penelitian yang pernah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) tentang kearifan lokal yang dinilai efektif dalam menangkal ideologi transnasional di negeri ini.
Hal tersebut tentunya merupakan langkah yang sangat baik dan perlu diadakan penelitian serupa ke depannya dengan melibatkan para pakar atau ahli yang berkompeten untuk memberikan pandangan dan arahan bagaimana Pancasila itu bisa diposisikan sebagai kaidah penuntun dalam setiap program penangkalan ideologi transnasional.
“Hal yang perlu dilakukan berikutnya adalah menjabarkan kembali temuan atau data dan informasi hasil penelitian tersebut ke dalam bentuk petunjuk operasional untuk menangkal ideologi transnasional," ujar pria kelahiran Palopo, Sulawesi Selatan ini.
Tidak hanya sampai di situ, namun untuk memastikan efektivitas upaya tersebut menurutnya diperlukan sinergi dan koordinasi kelembagaan baik antar lembaga pemerintah, maupun antar lembaga sosial masyarakat untuk ikut menyebarkan petunjuk operasional tersebut, terutama pada lembaga-lembaga pemerintahan atau organisasi kemasyarakatan yang berkepentingan melaksanakan program penangkalan paham asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa.
“Tentunya BNPT perlu bersinergi dengan lembaga-lembaga pendidikan dalam memanfaatkan hasil digitalisasi dokumen agar nilai-nilai kearifan lokal dapat disertakan dalam materi pembelajaran di lembaga Pendidikan,” tuturnya.
Lebih lanjut pria yang pernah menempuh pendidikan bidang Filsafat di Seoul National University, Korea Selatan ini juga mengemukakan perlu juga visualisasi yang masif melalui media sosial yang digandrungi anak muda terkait nilai-nilai kearifan lokal sebagai hasil dari reproduksi dokumen yang memuat nilai kearifan lokal dari berbagai kebudayaan daerah.
“Demikian halnya dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berbentuk perilaku, budaya, dan nilai-nilai masyarakat perlu divisualisasi secara masif melalui pementasan kebudayaan, perfilman, seni panggung, atau video yang dapat mengisi ruang-ruang media sosial,” tuturnya.
Pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) provinsi DIY itu juga mengemukakan keprihatinannya tentang kondisi masyarakat saat ini yang begitu mudahnya terpengaruh budaya luar dan cenderung meninggalkan kearifan lokal. Ia menganggap rendahnya kesadaran kritis masyarakat menjadi pemicu utamanya.
“Kesadaran kritis bisa kita pahami sebagai kemampuan masyarakat dalam memilih dan memilah pengaruh budaya asing. Mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk diterima. Dengan kesadaran kritis, masyarakat tidak akan mudah meninggalkan kearifan lokalnya,” ujar pria yang meraih gelar Doktoral dari Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), Korea Selatan ini.