Jaksa Agung Dikukuhkan Jadi Guru Besar Unsoed
Rep: Eko Widiyatno/ Red: Yusuf Assidiq
Jaksa Agung ST Burhanuddin. | Foto: Prayogi/Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, menggelar acara pengukuhan guru besar bidang ilmu keadilan restoratif pada Jaksa Agung Dr ST Burhanuddin SH MH. Acara pengukuhan berlangsung dalam sidang senat terbuka di Auditorium Graha Widyatama Kampus Unsoed Grendeng Purwokerto, Jumat (10/9).
Rektor Unsoed Prof Suwarto menyebutkan, gelar profesor bidang ilmu Keadilan Restoratif yang dilaksanakan di kampusnya merupakan sebuah kehormatan tersendiri bagi Unsoed. "Pidato pengukuhan berjudul 'Hukum Berdasarkan Hati Nurani : Kebijakan Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif' yang disampaikan, pada hakekatnya menghadirkan arti hukum sebagai sebuah instrumen yang memberikan perlindungan, kemanfaatan dan rasa keadilan di masyarakat,'' jelasnya.
Menurutnya, pemikiran mengenai penegakan hukum yang mengedepankan aspek nurani, sejatinya memiliki nilai kekuatan filosofis yang memantik para civitas akademika untuk selalu menghasilkan ide, gagasan, dan karya dengan senantiasa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam pidato pengukuhan yang berjudul 'Hukum Berdasarkan Hati Nurani (Sebuah Kebijakan Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif)', Burhanuddin mengakui, hukum saat ini masih mengedepankan aspek kepastian hukum dan legalitas-formal, daripada keadilan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat. ''Sebagian besar kalangan juga masih memandang jika hukum bagaikan pisau yang tajam ke bawah, namun tumpul ke atas,'' katanya.
Bahkan dia tidak memungkiri, bila telah terjadi beberapa kali peristiwa penegakan hukum yang seringkali mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal ini utamanya terjadi ketika terdapat suatu peristiwa tindak pidana yang pelakunya adalah masyarakat kecil dan perbuatan pidananya dianggap tidaklah pas atau adil untuk dibawa ke pengadilan.
''Banyak kalangan yang akhirnya mempertanyakan di mana letak hati nurani aparat penegak hukum yang tega menghukum masyarakat kecil dan orang tua renta atas kesalahan yang dipandang tidak terlalu berat? Apakah semua perbuatan pidana harus berakhir di penjara? Kegelisahan-kegelisahan inilah yang perlu ditinjau lebih dalam bagaimana suatu tujuan hukum dapat tercapai secara tepat dalam menyeimbangkan hukum yang tersurat dan tersirat,'' kata dia.
Burhanuddin menyebutkan, upaya mencari keadilan memang merupakan tujuan utama dari hukum. Namun hal ini bukan berarti tujuan hukum yang lain, seperti kepastian hukum dan kemanfaatannya, menjadi terpinggirkan. ''Ketika keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum saling menegasikan, maka hati nurani menjadi jembatan untuk mencapai titik neraca keseimbangan,'' jelasnya.
Menurutnya, semakin tinggi nilai penggunaan hati nurani dalam upaya penegakan hukum, maka semakin tinggi pula nilai keadilan hukum yang dapat diwujudkan. ''Hukum tanpa keadilan adalah sia-sia dan hukum tanpa tujuan atau manfaat juga tidak dapat diandalkan,'' katanya.
Ditegaskan, penggunaan hati nurani dalam penegakan hukum di Indonesia dijamin oleh UUD 45 dalam dua pasal, yaitu pasal 28E ayat (2) dan pasal 28I ayat (1). Berdasarkan konstitusi tersebut, Burhanuddin menilai setiap orang, termasuk para jaksa, berhak dan harus menggunakan hati nuraninya dalam setiap penegakan hukum.
Bahkan dia menegaskan, sebagai Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi di NKRI, telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. ''Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif ini lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang belum mengatur penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif,'' ujar Burhanudin.
Ia berharap, kehadiran Peraturan Kejaksaan ini diharapkan dapat lebih menggugah hati nurani para jaksa sebagai pengendali perkara pidana dalam melihat realitas hukum jika masih banyaknya masyarakat kecil dan kurang mampu yang kesulitan mendapatkan akses keadilan hukum.
Bahkan berdasarkan hasil evaluasi sejak diberlakukannya Peraturan Kejaksaan tersebut, ada sebanyak 304 perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan keadilan restoratif. Adapun tindak pidana yang paling banyak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif, antara lain terdiri dari tindak pidana penganiayaan, pencurian, dan lalu lintas.