REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan, kasus gagal bayar utang yang dialami korporasi di China berpengaruh terhadap ketidakpastian pasar keuangan global. Maka, hal itu berpengaruh pula terhadap pasar keuangan Indonesia.
"Tentu saja yang dulu memang ketidakpastiannya tinggi, terus mereda dalam jangka pendek. Ini terpengaruh apa yang terjadi di Tiongkok, terutama kegagalan bayar korporasi," ujar Perry salam konferensi pers virtual, Selasa (21/9).
Kondisi itu, kata dia, berdampak ke pasar modal Indonesia. "Ada faktor eksternal dan domestik, tapi kemudian dengan perkembangan ekonomi yang terus membaik di Indonesia, pasar modal Indonesia lebih mencerminkan kondisi fundamental Indonesia daripada teknikal pasar global," tuturnya.
Keadaan pasar global yang disebabkan gagal bayar perusahaan China, lanjut dia, tidak terlalu berdampak pada investasi yang masuk ke Tanah Air. BI mencatat, dari sisi investasi portofolio, terjadi aliran modal asing masuk ke Indonesia atau net inflow sebesar 1,5 miliar dolar AS selama periode Juli sampai 17 September 2021.
Masuknya net inflow tersebut, lanjut dia, juga menjadi salah sati faktor nilai tukar rupiah relatif membaik, menguat, atau setidaknya stabil. "Kami terus mengikuti dan memonitor pengaruhnya sejauh ini, terutama ke pasar modal, lalu berangsur mereda. Sementara (pengaruhnya) di pasar SBN (Surat Berharga Negara) dan nilai tukar tidak banyak," jelas Perry.
Perlu diketahui, perusahaan properti China bernama Evergrande terancam mengalami gagal bayar utang. Kabarnya perusahaan itu akan melakukan pembayaran bunga obligasi sebesar 84 juta dolar AS. Pada awal pekan ini, perusahaan mulai membayar investor dalam bisnis manajemen kekayaannya dengan properti. Evergrande saat ini berada dalam masalah setelah mempunyai utang sebesar 300 miliar dolar AS lebih.