REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan tekanan utang di negara-negara paling rentan di dunia Senin (4/10). Jika dibiarkan kondisi tersebut akan menjadi senjata yang menghancurkan pemulihan global dari pandemi virus korona.
"Masyarakat internasional telah mengambil beberapa langkah positif, tetapi inilah saatnya untuk mendukung secara penuh," kata Guterres, berbicara pada pembukaan Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB di Barbados.
Dana Moneter Internasional pada Agustus menyetujui alokasi Hak Penarikan Khusus (SDR) senilai 650 miliar dolar AS, unit pertukaran dana yang didukung oleh dolar, euro, yen, sterling, dan yuan. Guterres mendorong alokasi ulang substansial SDR yang tidak digunakan,bukan yang simbolis, ke negara-negara yang rentan.
Guterres juga menyerukan Inisiatif Penangguhan Layanan Utang G20 untuk diperpanjang hingga tahun depan. Dia meminta itu tersedia untuk semua negara yang membutuhkannya, termasuk negara-negara berpenghasilan menengah. Strategi komprehensif seputar reformasi arsitektur utang internasional dan keuangan swasta dapat digunakan untuk membantu mengisi kesenjangan.
"Kami tahu menangguhkan pembayaran utang tidak akan cukup di banyak negara. Mereka akan membutuhkan penghapusan utang yang efektif, yang melibatkan kreditur publik dan swasta," kata Guterres.
"Sangat tidak adil bahwa negara-negara kaya dapat meminjam dengan murah dan menghabiskan jalan mereka menuju pemulihan, sementara negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah berjuang untuk menjaga ekonomi mereka tetap bertahan," kata Guterres.
Presiden Bank Dunia David Malpass pekan lalu, menyatakan pada pertengahan 2021, lebih dari setengah negara termiskin di dunia berada dalam kesulitan utang luar negeri atau berisiko. Situasi utang untuk negara-negara miskin dapat memburuk karena harga komoditas yang bergejolak dan suku bunga yang lebih tinggi.