The Ghazali Project, Ikhtiarkan Kesadaran Cara Pandang Islam
Red: Fernan Rahadi
Acara peresmian The Ghazali Project Chapter Indonesia yang disiarkan secara virtual melalui platform Zoom dan Youtube. | Foto: dokpri
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini, umat Islam dihadapkan pada perang pemikiran yang menjadikan pola pikir umat, sadar ataupun tidak sadar, terkolonisasi oleh cara pandang Barat.
"Kondisi ini seringkali membuat kebanyakan Muslim melewatkan cara pandang Islam atau Islamic Worldview, sehingga tidak menyadari potensi diri dan pedoman hidup sangat penting yang ada di dalam Alquran," kata Koordinator The Ghazali Project Indonesia, Lisa Listiana, dalam siaran pers yang diterima Republika, Selasa (2/11).
Lisa melanjutkan, The Ghazali Project yang diinisiasi Prof Asad Zaman hadir sebagai ikhtiar untuk memberikan kesadaran bahwa konflik antara akal dan hati perlu direkonsiliasi melalui tiga tahapan karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, yaitu pembebasan dari kesalahan (al munqid minal dalal: deliverance from error), penolakan terhadap ilmu pengetahuan Barat (tahafatal falasifa: incoherence of philosophers), dan kebangkitan ilmu pengetahuan Islam (ihya ulumidin: revival of the religious sciences).
Hasil terjemahan sembilan sesi kelas seri kebangitan Islam, berbagai tulisan Prof Asad Zaman, dan juga karya-karya Imam Al-Ghazali dalam bahasa Indonesia dapat diakses melalui situs theghazaliproject.com.
"The Ghazali Project Indonesia ke depannya akan mengadakan berbagai agenda, termasuk program rutin untuk mengkaji karya-karya Imam Al-Ghazali dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan Islamic Worldview," kata Lisa.
The Ghazali Project Chapter Indonesia diresmikan secara langsung oleh Prof Asad Zaman dan dihadiri Ustaz Akmal Sjafril selaku Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat sebagai narasumber. Acara yang disiarkan secara virtual melalui platform Zoom dan Youtube ini dihadiri oleh peserta dari dalam dan luar negeri.
Kegiatan ini didukung oleh beberapa partner strategis, termasuk Visi Peradaban Foundation, IQRA’ Alfatih Institute, ThRU, Pusat Studi Kajian Kitab Klasik Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia, dan Visi Finansial.
Dalam penyampaian materi, Prof Asad Zaman menyampaikan bahwa ilmu yang hakiki berasal dari cahaya Allah. Ilmu tersebut terkandung dalam Alquran sebagai pedoman hidup manusia yang lengkap dan sempurna yang di masa lalu berhasil mengantarkan umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman kejayaan.
Oleh karena itu, dalam mencari kebenaran ilmu pengetahuan dibutuhkan keterlibatan hati nurani, bukan hanya akal semata. Ilmu pengetahuan dalam Islam harus diawali dengan memurnikan hati yang kemudian dapat dicapai melalui kedekatan dengan Allah SWT.
"Mengapa umat Islam tidak menyadari aspek-aspek dasar ini? Karena pendidikan Barat yang diaplikasikan secara universal di negara-negara Islam saat ini mengajarkan pelajaran yang berlawanan," kata Prof Asad.
Dengan pendidikan ala Barat, orientasi hidup ditujukan untuk mengejar kesenangan, keuntungan, dan kekuasaan. Segala jenis pengetahuan yang dapat memberi kita ketenaran, popularitas, uang, rasa hormat adalah berguna dan perlu untuk diraih. Kolonisasi pikiran yang dilakukan oleh Barat kemudian menjadikan mayoritas Muslim lemah dalam pemikirannya.
"Mereka menjalankan agama Islam hanya sebagai ritual semata, bukan sebagai jalan hidup yang berharga," katanya.
Oleh karena itu, cara untuk membebaskan pikiran dari kolonisasi barat adalah dengan memfokuskan diri kepada pertanyaan-pertanyaan sentral, termasuk siapa kita, siapa pencipta kita, dan apa tujuan hidup kita. "Revolusi pertama yang dapat dilakukan adalah dimulai dari diri kita sendiri, yaitu memulai untuk menjadi sebaik-baik ciptaan-Nya," papar Prof Asad Zaman.
Kepala Sekolah SPI Pusat, Ustaz Akmal Sjafril, menambahkan tafsir dari Al-Alaq ayat 1-5 menekankan ilmu pengetahuan sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Kunci dari kebahagiaan manusia adalah pengetahuan. Hal ini dijelaskan dalam salah satu karya Imam Al-Ghazali yang berjudul “Alchemy of Happiness” atau Kimia Kebahagiaan.
Seorang manusia dapat belajar dan menguasai materi kimia, fisika, biologi, dan lainnya, namun tidak akan pernah bisa menjawab tujuan hidupnya selain dengan ilmu agama. Diawali dengan pengetahuan tentang diri sendiri yang kemudian akan mendorong diri untuk mengenal siapa penciptanya dan kepada siapa diri akan kembali.
"Pengetahuan ini yang akan menuntun kita menuju tiga jenis kebahagiaan yang hakiki, yaitu kebahagiaan ketika mendapat apa yang kita inginkan melalui jalan yang Allah ridhai, kenikmatan dan ketenangan spiritual yang permanen, hingga kebahagiaan menatap wajah Allah di surga," kata Ustaz Akmal.