Luncurkan Buku, Haedar Nashir Cerita Awal Rutin Menulis
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kiri) memberikan tanda tangan disaksikan Pemred Republika Irfan Junaidi saat peluncuran buku Agama, Demokrasi, dan Politik Kekerasan di Gedung PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (16/11). Buku ini merupakan karya dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah yang bekerjasama dengan Penerbit Republika. | Foto: Wihdan Hidayat / Republika
REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, baru saja meluncurkan buku berjudul Agama, Demokrasi dan Politik Kekerasan. Saat peluncuran, Haedar sempat menceritakan, awal menulis secara rutin sudah dilakukan sejak 2000.
Haedar diwawacara Republika setelah mengikuti Muktamar Muhammadiyah di Jakarta. Kala itu, Haedar cuma dikirim sebagai utusan Ketua Badan Pendidikan Kader, dan seperti kader-kader Muhammadiyah lain datang ke muktamar untuk menikmati acara.
Tidak sendiri, ia datang ditemani putra-putri dan sang istri, Siti Noordjannah Djohantini, yang saat ini menjabat Ketua Umum PP Aisyiyah. Haedar masih sangat ingat, betapa senang putra-putri mereka ketika pertama tiba di Stasiun Gambir.
"Waktu itu pesan bajaj, berempat naik bajaj langsung ke Ancol, kemudian naik bajaj lagi untuk pulang ke Menteng," kata Haedar di Kantor PP Muhammadiyah, Selasa (16/11).
Setelah itu, Haedar diminta mengisi kolom refleksi di Harian Republika. Ia menilai, itu merupakan momen bersejarah karena merupakan sebuah perjalanan intelektual dan ruhaniah, ketika mulai mengemban suatu amanah yang besar.
Sejarah itu turut mempengaruhi Haedar hari ini, ketika mengemban amanah yang sangat besar. Apalagi, saat ini tidak cuma bertanggung jawab atas tulisan, tapi bisa dibilang menjadi lokomotif organisasi kemasyarakatan Islam terbesar dunia.
"Di Muhammadiyah, saat mengambil kebijakan-kebijakan yang dirasa berat, tidak pernah ada perasaan sulit, kuncinya hati, pikiran dan komitmen," ujar Haedar.
Jika coba ditotal, Haedar yang sudah menulis rutin selama 20 tahun, sudah menelurkan sekitar 240 tulisan. Maka itu, ia berpendapat, buku berjudul Agama, Demokrasi dan Politik Kekerasan sangat melekat dengan perjalanan tersebut.
Haedar tidak sepakat jika buku cuma disebut sebagai kumpulan tulisan-tulisan. Sebab, setiap tulisan itu tetap saja merupakan buah pikiran dari seseorang, jadi mempertanggung jawabkan tulisan sama saja mempertanggung jawabkan pikiran.
Menulis, lanjut Haedar, memaksa kita membaca yang membuat kita memiliki gairah hidup. Karenanya, ia mengajak generasi milenial membawa diri untuk menumbuhkan budaya membaca, belajar jernih berpikir agar bisa memberi sesuatu yang berharga.
"Saya mempunyai cita-cita menulis tentang Islam, secara komprehensif, dan tebal. Tidak tahu buku tentang apa, itu cara memaksa diri untuk berpikir," kata Haedar.