AFPI: Pandemi Momentum Akselerasi Transformasi Digital
Red: Fernan Rahadi
webinar bertajuk "AFPI Fintech Lending Summit 2021" yang diselenggarakan untuk menyemarakkan Bulan Fintech Nasional dan Indonesia Fintech Summit, Rabu (1/12). | Foto: dokpri
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi industri Fintech Pendanaan Bersama, tahun 2021 merupakan tahun yang cukup menantang. Secara makro tadinya diharapkan ekonomi bisa dipercepat namun kemudian terjadi gelombang kedua pandemi.
Hal ini juga yang terjadi di industri Fintech Lending, di mana para pelakunya masih memasuki tahun kelima-keenam, masa yang boleh dibilang merupakan masa growing pains bagi industri ini, yang kaitannya dengan kompleksitas yang makin meningkat baik dari sisi volume, produk, persaingan bisnis dan juga dalam isu pinjol ilegal yang ramai diperbincangkan dalam kurun waktu terakhir ini.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Adrian Gunadi, mengatakan, menyikapi situasi tersebut AFPPI sebagai wadah bagi 104 anggota Fintech Pendanaan Bersama legal dan berizin, telah melakukan beberapa penguatan, baik dari sisi infrastruktur, governance, dan aspek Code of Conduct AFPI.
"Pada tahun ini, kami juga mengalami penurunan jumlah anggota yang tadinya berjumlah 180-an dan saat ini hanya 104 anggota," kata Adrian dalam webinar bertajuk "AFPI Fintech Lending Summit 2021" yang diselenggarakan untuk menyemarakkan Bulan Fintech Nasional dan Indonesia Fintech Summit, Rabu (1/12).
Hal tersebut tentu tidak terlepas dari beberapa faktor, yaitu karena pandemi yang berkelanjutan, risiko bisnis dan juga pengalaman dari para perusahaan Fintech Pendanaan Bersama itu sendiri. Untuk bisa bertahan di industri ini memang diperlukan pengalaman dan ketajaman bisnis yang tinggi dan tentu saja adaptif dengan perubahan iklim bisnis, regulasi dan persaingan.
"Dan kalau kita bisa memiliki hal itu semua, maka masa pandemi ini bisa menjadi momen yang tepat bagi industri Fintech Pendanaan Bersama untuk bangkit menuju ke tahap berikutnya, menjadi pelaku bisnis yang memiliki quality dan sustainability," katanya.
Pihaknya yakin prospek industri ini masih sangat positif. "Covid-19 membawa dampak yang positif, di mana adopsi digitalisasi, termasuk di sektor keuangan sudah sangat tinggi. Dengan dukungan regulator, kolaborasi perusahaan Fintech Pendanaan Bersama dengan industri jasa keuangan atau ekosistem lainnya serta masuknya beberapa perusahaan Fintech ke bursa efek, akan menjadi momentum bagi industri ini untuk menjadi industri Fintech Pendanaan Bersama yang lebih sehat, berkualitas dan sustainable," katanya.
Perubahan perilaku masyarakat yang semakin tergantung dengan teknologi di tengah masa pandemi ini, telah meningkatkan penggunaan transaksi keuangan digital, termasuk salah satu di dalamnya adalah penggunaan Fintech Pendanaan Bersama. "Dampaknya, kinerja Fintech Pendanaan Bersama ini terus bertumbuh positif dan mampu berkontribusi membantu masyarakat ataupun UMKM yang membutuhkan pendanaan cepat dengan cara yang mudah," ujarnya.
Anggota Dewan Komisioner OJK dan Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK, Riswinandi,mengatakan, Fintech Pendanaan Bersama sebagai salah satu platform yang unggul baik dari sisi outreach kepada masyarakat maupun dari sisi kecepatan dalam melakukan transaksi merupakan salah satu alat yang sangat baik dalam meningkatkan inklusi keuangan dan membantu masyarakat yang masih belum memiliki rekening bank.
"Fintech Pendanaan Bersama merupakan sebuah contoh bagaimana industri jasa keuangan berevolusi dengan berbagai transformasi dan juga dukungan teknologi yang berkembang. Tren penggunaan Fintech Pendanaan Bersama terus meningkat secara agresif. Untuk Fintech Pendanaan Bersama, OJK mencatat penyaluran pinjaman Fintech Pendanaan Bersama ke masyarakat telah mencapai Rp 272,43 triliun dan nilai pendanaan yang masih berjalan (outstanding pinjaman) adalah sebesar Rp 27,91 triliun dan ini kami rasa cukup baik," katanya.
Kehadiran Teknologi Finansial (Fintech) di Indonesia, tak dapat dipungkiri telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, terutama bagi para pelaku UMKM yang underserved dan unbanked. Bantuan pendanaan terhadap UMKM memang masih menjadi prioritas dan pemerintah terus mendorong para pelaku UMKM tersebut untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan maupun platform financial technology (fintech), agar dapat naik kelas, mengingat jumlah UMKM di Indonesia berkontribusi cukup besar pada Produk Domestik Bruto negara, yaitu 61,07 persen atau senilai Rp 8.573,89 triliun.
Namun, data AFPI menunjukan, dari total sekitar 60 juta UMKM, 46,6 juta atau 77,6 persen di antaranya tidak dapat menjangkau akses kredit perbankan maupun fintech, yang salah satu penyebabnya adalah karena literasi keuangan yang masih cukup rendah.
Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian dan Pengembangan Fintech OJK, Munawar Kasan, mengatakan, OJK selalu mendorong semua industri jasa keuangan, khususnya, untuk menggunakan teknologi informasi (IT) demi meningkatkan daya saing. "Selama masa pandemi ini, industri Fintech Pendanaan Bersama dan E-Commerce, atau industri apapun yang ditopang IT, mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi," katanya.
OJK mencatat, pada akhir Oktober 2021 ini, Fintech Pendanaan Bersama tumbuh sebesar Rp 130 triliun atau 130 persen, industri apapun kalau pertumbuhan di atas 100 persen akan sangat baik. Namun, harus diakui, industri yang serba digitalisasi ini tentu saja akan mengundang resiko, untuk itu OJK sadar dan dalam tahun ini sudah mengeluarkan peraturan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi (MRTI).
Pandemi ini memang telah memaksa masyarakat untuk beralih ke platform digital. Namun platform/servis digital tidak berarti apa-apa bila tidak didukung oleh ketersediaan infrastruktur yang memadai. "Untuk itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kominfo, terus berupaya melakukan akselerasi transformasi digital, salah satunya dengan menyiapkan Roadmap Digital Indonesia 2021-2024. Peta jalan itu mencakup empat sektor strategis, yaitu infrastruktur, pemerintahan, ekonomi, dan masyarakat digital," ujarnya.
Direktur Ekonomi Digital, Ditjen Aplikasi Informatika Kemkominfo, I Nyoman Adhiarna, mengatakan, dengan semakin besarnya penggunaan digital oleh masyarakat Indonesia termasuk di sektor keuangan, kita perlu memperkuat literasi digital bagi masyarakat yang lebih spesifik seperti misalnya keamanan dalam bertransaksi digital, rajin memperbarui data, mengganti password, dan paham akan dunia maya.
Keamanan siber merupakan salah satu pilar keberhasilan digital ekonomi dan keamanan serta kenyamanan masyarakat.
"Ekonomi digital di Indonesia saat ini sudah berbasis sharing platform economy, khususnya marketplace, fintech dan ride sharing, perekonomian bergeser ke arah digital. Seiring dengan itu ancaman baru muncul, antara lain penyalahgunaan data pribadi dan cybercrime," ujarnya.
Menurut Direktur Keamanan Siber dan Sandi Industri BSSN, Intan Rahayu, masa-masa pandemi turut menyumbang angka penggunaan teknologi informasi dan komunikasi oleh masyarakat Indonesia dan hampir semua bidang usaha memanfaatkan teknologi digital tersebut.
"Namun sejatinya, pertumbuhan penggunaan ekonomi digital juga harus didorong oleh sistem keamanan yang aman, karena keamanan Siber merupakan salah satu pilar keberhasilan digital ekonomi dan keamanan serta kenyamanan masyarakat," katanya.
Sejak kedatangan pandemi Covid-19, yang membuat interaksi fisik dibatasi, kenaikan permintaan kredit usaha di platform-platform pembiayaan digital memang meningkat pesat.
Chief Risk and Sustainability Officer Amartha, Aria Widyanto, mengatakan, Fintech tidak hanya berfokus pada bisnis, tetapi juga mendorong perkembangan ekonomi. "Semua penyelenggara Fintech Pendanaan Bersama dalam industri akan sangat senang untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan bersama kita bisa bangkit lebih kuat melewati pandemi ini. Kami mendukung sepenuhnya untuk pemulihan ekonomi Indonesia," katanya.