REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Hafil, Wartawan Republika.co.id
Sudah dua tahun terakhir ini, Sri Ramadhani (30 tahun), punya pekerjaan baru. Dia me-melabeli merek Es Gak Beres pada kemasan bubuk bahan baku minuman segar.
Pada Rabu (15/12) itu, ada sembilan orang lain selain Sri yang memiliki tugas sama. Mereka bekerja mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB di sebuah ruko di Jalan Getek, Kelurahan Mutiara, Kecamatan Kota Kisaran Timur, Kabupaten Asahan, Sumatra Utara.
Ke-10 orang pekerja ini semuanya tetangga. Tinggal di tempat yang tak jauh dari ruko.
Setelah bahan baku pembuatan minuman segar berbagai rasa itu di-packing dalam kemasan-kemasan kecil, tercapailah berat semuanya 500 kg pada hari itu. Hari sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB siang.
Masing-masing mereka kemudian mengangkut kemasan-kemasan itu ke dalam sebuah mobil pick-up. Sampai pukul 16.00 WIB, selesai semua pekerjaan.
Budiono (43), satu dari 10 orang tadi, kemudian membawa 500 kg bubuk bahan minuman itu ke kantor ekspedisi. Semuanya akan disebar ke 480 gerai yang merupakan mitra cabang Es Gak Beres yang tersebar di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.
Bubuk bahan minuman juga dikirim ke gerai-gerai yang ada di Kabupaten Asahan. Ada sembilan gerai di satu wilayah ini dengan seorang pegawai yang bertugas melakukan penjualan di gerai. Selain itu, ada satu cafe and resto yang selain menjual Es Gak Beres, juga menjual makanan.
Mereka, total ada 40 pegawai Es Gak Beres. Sepuluh orang di bagian produksi dan sembilan orang di bagian penjualan dalam kecamatan. Sisanya, bekerja di cafe and resto Es Gak Beres. Kesemuanya, digaji per bulan dengan minimal gaji sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah setempat yakni UMK (Upah Minimum Kabupaten).
Gerai Pertama
Sebelum Es Gak Beres mencapai 480 gerai yang tersebar di seluruh sejumlah pulau besar Indonesia, ada satu gerai pertama yang kisahnya menarik. Pemilik gerai itu bernama Murni.
Rumahnya ada di Kecamatan Air Joman, Kabupaten Asahan. Kecamatan Air Joman ini masih satu kabupaten dengan kecamatan Kota Kisaran Timur di Asahan.
Kepada Republika pada pekan lalu, Murni menceritakan bahwa awalnya dia berjualan jus buah di rumahnya. Namun, lambat laun jualannya itu semakin sepi.
Apalagi, di daerah sekitarnya sudah banyak bermunculan kios-kios minuman. Di antaranya yaitu minuman thai tea yang sedang digandrungi oleh masyarakat.
Di saat penjualannya lesu, Murni mendengar informasi ada di kecamatan sebelah sedang viral dan ramai dibicarakan orang, Es Gak Beres.
"Orang-orang banyak bilang coba lihat Es Gak Beres di Kota Kisaran Timur," kata Murni mengenang.
Setelah itu, dia pergi ke kios Es Gak Beres. Di sana, dia membeli dan mencoba sejumlah varian minumannya.
Ternyata, rasanya memang enak-enak dan harganya juga murah. Maka, dia kemudian meminta kepada pemilik kios Es Gak Beres yang baru ada satu kios itu untuk menjual produk-produk kepadanya.
"Sayalah orang pertama yang minta kerja sama," kata Murni.
Singkat cerita, atas persetujuan sang penggagas dan pemilik Es Gak Beres, Murni mula menjual merek Es Gak Beres di rumahnya. Ternyata, hasilnya bagus.
"Meledak," kata Murni.
Di tahun awal penjualan, dia mendapat omset setiap harinya Rp 3,5 juta. Padahal, saat berjualan jus dia hanya mendapat omset Rp 500 ribu per hari.
Sekarang, dia sudah dua tahun berjualan Es Gak Beres. Omsetnya memang tidak sama seperti dulu lagi, apalagi dia sekarang sudah memiliki dua kios Es Gak Beres.
"Sekarang karena sudah banyak yang jual Es Gak Beres di mana-mana. Sekarang ini saya mendapat rata-rata Rp 2,5 juta per hari dari dua gerai Es Gak Beres," kata Murni.
Murni mengakui merek Es Gak Beres menjadi perantara meningkatnya kesejahteraan dia. Sekarang, setiap pekan dia membeli Rp 3 juta bahan bubuk rasa Es Gak Beres dari Kota Kisaran Timur, tempat Es Gak Beres "dilahirkan''.