Komunitas Joli Jolan Solo, Kurangi Budaya Konsumerisme Masyarakat
Rep: Binti Sholikah/ Red: Yusuf Assidiq
Aktivitas di galeri Joli Jolan Kota Solo, Jawa Tengah. | Foto: Dokumen.
REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Konsumerisme sudah menjadi budaya sebagian masyarakat Indonesia saat ini mulai dari kelas menengah. Dampaknya, konsumerisme menimbulkan sampah yang sebenarnya masih bisa dikelola dan dimanfaatkan orang lain.
Ide mengurangi konsumerisme menggerakkan sejumlah relawan di Solo untuk membentuk komunitas Joli Jolan. Komunitas ini memiliki slogan, "Ambil sesuai kebutuhanmu, sumbangkan sesuai kemampuanmu".
Salah satu inisiator Komunitas Joli Jolan, Septina Setyaningrum mengatakan, pembentukan Joli Jolan bertujuan untuk mengurangi konsumerisme dengan mengelola barang pribadi secukupnya, serta mengedukasi masyarakat akan pentingnya solidaritas tanpa sekat identitas dan lintas kelas sosial.
Komunitas Joli Jolan berdiri pada November 2019. Namun, ruang solidaritas Joli Jolan baru dibuka untuk umum pada 21 Desember 2019. Ruang solidaritas Joli Jolan beralamat di Jalan Siwalan No 1 Kerten, Laweyan, Solo, Jawa Tengah.
Awalnya, ajakan membuat ruang gerak solidaritas dicetuskan oleh salah satu jurnalis koran lokal di Solo, Chrisna Chanis Cara, dengan mengadopsi kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas Skoros yang dibentuk untuk menghadapi krisis ekonomi di Yunani. Kemudian, sejumlah relawan bergabung melakukan diskusi dan terbentuklah Komunitas Joli Jolan.
"Eksekusi buka pintu Joli Jolan pada 21 Desember 2019 dengan bermodalkan barang-barang para relawan dan pinjaman furnitur untuk display di galeri, dengan kesepakatan buka sepekan sekali setiap Sabtu, mulai pukul 10.00 - 17.00 WIB," kata Septina kepada Republika.co.id.
Pada perkembangannya, ruang gerak solidaritas memperoleh respons positif dari komunitas lainnya yang mengadopsi ide Joli Jolan. Hal itu ditandai dengan melimpahnya barang donasi di galeri dan jumlah pengunjung yang semakin meningkat.
Sampai saat ini, jumlah pengunjung (joliers) tercatat mencapai 900 orang, dengan jumlah kunjungan 200 orang per hari saat operasional. Barang yang dapat diambil maupun didonasikan antara lain, pakaian, buku bacaan, perlengkapan rumah tangga, peralatan sekolah, perkakas/hiasan rumah, makanan, keperluan hewan peliharaan, serta memorabilia/barang koleksi.
Barang tersebut wajib dalam kondisi layak/baru. Jika berbentuk pakaian, maka harus dalam keadaan bersih dan tidak berbau, serta disarankan di-laundry terlebih dahulu. "Sebagian pengunjung kami merupakan warga sekitar dan ada juga yang dari luar kota. Mereka berasal dari berbagai macam profesi, seperti tukang becak, buruh, ibu rumah tangga, mahasiswa, pekerja swasta, dan lainnya," ujarnya.
Sejumlah kegiatan rutin yang telah dilakukan oleh komunitas ini antara lain, program berbagi makanan Food not Bombs, susu untuk anak-anak, pojok baca, ruang bermain anak, serta wall plants yang boleh diambil secukupnya oleh joliers. Selain itu, Joli Jolan juga kerap menggelar diskusi dengan berbagai tema yang bekerja sama dengan sejumlah instansi.
Menginspirasi komunitas lain
Meski demikian, Septina menekankan Joli Jolan bukan lembaga charity yang mengumpulkan bantuan untuk disalurkan kepada penerima manfaat. Gerakan tersebut fokus pada keberlanjutan, di mana barang-barang yang masih memiliki masa manfaat dan dalam kondisi layak tetapi sudah tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya bisa saling ditukarkan tanpa mempertimbangkan nilai barang tersebut.
"Sehingga, ketersediaan barang tetap terjaga dan mengurangi konsumerisme karena mengoptimalkan umur manfaat barang yang sudah tidak dipakai oleh pemilik sebelumnya," imbuhnya.
Menurutnya, indikator keberhasilan ruang gerak solidaritas Joli Jolan adalah adopsi oleh komunitas lain atau dengan kata lain, ada yang membuka ruang gerak solidaritas yang disesuaikan dengan local wisdom masing-masing daerah. Dia menyebut, sejauh ini sudah ada beberapa komunitas yang terdampak konsep ruang solidaritas Joli Jolan, di antaranya, gerakan oleh Ikatan Karang Taruna dan Kelompok Wanita Tani di Dukuh Masan, Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, serta Komunitas Ijo Lumut di Kampung Cungkup, Kota Salatiga.
Adopsi Joli Jolan khusus mainan yang dibuat dari sampah plastik di Ijo Lumut diperuntukkan bagi anak-anak dengan menukarkan mainan mereka. Selain itu, relawan di sejumlah kota/kabupaten lainnya juga menyatakan minat, seperti Sragen, Riau, Bogor, Karanganyar, Sidoarjo, Bandung, Cileungsi, dan Lampung.
Septina menambahkan, ke depannya diharapkan semakin banyak menginspirasi komunitas lain untuk mengadopsi ruang gerak solidaritas Joli Jolan. Selain itu, berkelanjutan dengan semakin banyak dibukanya kegiatan yang membuka ruang interaksi tanpa sekat identitas dan lintas sosial lain, serta mampu menahan laju timbulan sampah.