Warga Penerima Ganti Rugi Lahan Perlu Pendampingan Alih Profesi
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Warga Penerima Ganti Rugi Lahan Perlu Pendampingan Alih Profesi (ilustrasi). | Foto: Republika/Wihdan Hidayat
REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Pakar pembangunan sosial dan kesejahteraan, Fisipol UGM, Dr Hempri Suyatna menilai, fenomena miliarder tiba-tiba yang jatuh miskin menunjukkan terjadinya gegar budaya (culture shock) yang tidak bisa dikelola dengan baik.
Ia melihat, masyarakat tidak siap menghadapi proses perubahan yang terjadi. Sayangnya, selama ini di Indonesia tidak ada pendampingan dari perusahaan-perusahaan atau pemerintah dalam mengelola uang ganti rugi lahan tersebut.
"Budaya konsumtif dan budaya instan yang ada di masyarakat sering menyebabkan masyarakat tidak berpikir untuk jangka panjang," kata Hempri, Rabu (26/2).
Bagi Hempri, fenomena miliarder yang jatuh miskin ini tidak hanya akan terjadi di Tuban. Tapi, juga perlu dilakukan antisipasi untuk daerah-daerah lain yang belakangan mengalami ganti rugi lahan sebagai dampak dari proyek pembangunan.
Apalagi, selama ini banyak kasus yang terjadi kompensasi ganti rugi lahan dirasa cukup selesai ketika masyarakat sudah menerima uang sebagai kompensasi tersebut. Tidak ada arahan dari pemerintah, misalnya terkait penggunaan dana kompensasi.
Akibatnya, banyak masyarakat yang menggunakan dana tersebut untuk kepentingan konsumtif membeli mobil, rumah dan sebagainya. Kalaupun membuka usaha sering kecenderungan hampir sama seperti membuka warung kelontong atau usaha dagang.
"Padahal, masyarakat tidak memiliki bekal untuk itu, sehingga mereka mengalami kegagalan dalam merintis usaha," ujar Hempri.
Bisa dilihat dari Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Mereka mendadak menjadi miliarder usai mendapat ganti rugi dari penjualan tanah dan lahan proyek pembangunan kilang minyak PT Pertamina, Februari tahun lalu.
Sebagian besar memborong mobil dan kebutuhan mewah lain. Namun, setelah satu tahun, beberapa warga jatuh miskin karena tidak ada lagi sumber penghasilan yang dapat mereka dapatkan seperti saat mereka bisa menggarap lahan pertaniannya.
Mengantisipasi terulangnya kasus Warga Sumurgeneng di Tuban, Hempri berpendapat, sebaiknya perusahaan membantu masyarakat terdampak tetap bisa bertahan. Seperti pemberian keterampilan yang dapat mendorong masyarakat untuk merintis UMKM.
Kasus ini harus jadi pelajaran untuk ke depannya. Sebab, kasus-kasus pembebasan lahan baik yang dilakukan pemerintah atau perusahaan harus perhatikan dampak jangka panjang, jangan sampai proyek-proyek pembangunan memarginalisasikan.
"Memarginalisasikan masyarakat kecil dengan munculnya masyarakat miskin dan pengangguran," kata Hempri.
Pemerintah dan perusahaan dapat memberi pendampingan manajemen keuangan dan membentuk mental berpikir jangka panjang. Bahkan, kompensasi-kompensasi yang mungkin muncul tidak sekadar uang, tapi berbentuk program-program alih profesi.
"Memberikan pelatihan dan keterampilan masyarakat dapat dilakukan untuk itu. Perusahaan dapat mengembangkan program-program melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka mengembangkan program-program alih profesi ini," ujar Hempri.