Memaknai Wayang Sebagai Media Dakwah

Red: Fernan Rahadi

Wayang kulit (ilustrasi)
Wayang kulit (ilustrasi) | Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KRT Akhir Lusono (Anggota Komisi Seni Budaya Islam Dewan Pimpinan Daerah Istimewa Yogyakarta)  

Diskursus mengenai muasal wayang purwa atau wayang kulit akan selalu ada. Tentu hal tersebut menjadi menarik, karena akan meluaskan wawasan kita tentang asal dan fungsi wayang. 

Wayang ada yang menyebut sebagai salah satu media yang dipilih oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo untuk berdakwah. Karena pada masanya para wali ini melihat ketertarikan rakyat jelata dengan kesenian tradisional ini. 

Popularitas wayang yang banyak digandrungi masyarakat menjadi pilihan para Walisongo dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Sehingga ajaran Islam dengan mudah dipahami. 

Demikian pula ada yang menyebut bawa wayang berasal dari India, walaupun tentu ini menurut pengajar salah satu perguruan tinggi seni di Indonesia yakni Dr Suyanto pada sebuah acara diskusi yang diselenggarakan di Kota Solo menyatakan bahwa ketika orang India disodori wayang purwa versi Indonesia mereka tidak tahu apa-apa. R Gunawan Djajakusumah juga menyebutkan bahwa wayang asli dari Indonesia khususnya Jawa.

Sekali lagi penulis justru sangat berterima kasih dengan ragamnya pendapat tentang asal dan fungsi wayang purwa. Ini menarik karena semakin banyak yang bisa menginformasikan tentang wayang, maka bertambah ilmu pengetahuan kita. 

Dalam tulisan ini penulis mencoba memaknai wayang sebagai media dakwah. Jika kita mengacu pada arti kata dakwah menurut KBBI adalah penyiaran atau propaganda. Bisa pula diartikan sebagai penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat. Sehingga bagaimana memaknai wayang sebagai media pengembangan dakwah di tengah masyarakat. 

Wayang adalah media yang sangat efektif untuk dakwah. Alasannya dengan kemasan yang memadukan unsur edukasi dan entertainment (edutainment) masyarakat akan merasa tidak terlalu digurui untuk menyerap ilmu-ilmu agama. Namun lebih mengena dan terinternalisasi tanpa terasa. 

Maka agaknya perlu dibuat stratagi untuk memanggungkan atau mementaskannya. Di zaman milenial ini perlu konsep menyodorkan bentuk sajian pertunjukan wayang yang up to date. Sehingga dapat mengikuti perkembangan jaman. Karena dakwah pun juga harus selalu diselaraskan dengan jamannya. Lalu apa saja media pementasan atau pagelaran wayang?

Pertama, saat ini jagad sudah dikuasai oleh perkembangan teknologi yang mendera sedemikian kencang bagaikan laju kereta cepat. Pergantian teknologi yang detik per detik terjadi. Oleh karena itu wayang juga perlu menyelaraskan dengan perkembangan jaman. 

Beragam media sosial baik Youtube, Instgram, dan lainnya juga perlu dirambah. Apalagi kelompok remaja milenial juga baru menggandrungi tren medsos ini. Jadi dakwah menggunakan wayang melalui media yang berkemajuan perlu digalakkan.

Kedua, pemanggungan wayang secara konvensional. Yakni menggelar wayang di panggung pertunjukan. Agaknya ini masih laku juga. Baik di pedesaan maupun di perkotaan wayang masih cukup diapresiasi. Terlebih di Yogyakarta dengan dana keistimewaan pagelaran wayang masih cukup banyak dilakukan di berbagai tempat. 

Apalagi Yogyakarta juga memiliki pawiyatan yang khusus mengajarkan seni pedalangan. Di kota pelajar ini masih ada pamulangan pedalangan Habiranda, SMKI Yogyakarta, dan juga perguruan tinggi seni jurusan pedalangan yang hingga kini masih eksis.

Ketiga, melalui media radio. Radio yang jumlahnya bejibun ini perlu pula disasar untuk menyiarkan wayang. Bahkan jika para siding pembaca masih berkenan mendengarkan siaran wayang kulit di radio, hampir setiap malam ada radio yang menyiarkan wayang. Ini satu kekuatan bahwa dakwah dengan wayang melalui radio masih menjanjikan.

Karena kendatipun radio mungkin ada yang menganggap tidak secerah dan secemerlang dekade tahun 80-an atau 90-an atau bahkan sebelumnya, namun hingga kini diyakini radio masih tetap eksis. Jumlahnya tidak susut bahkan kini bertambah. Ada saja kreativitas para angkasawan/wati ini untuk tetap mengais rezeki dari media elektronik yang satu ini.

Keempat, menggunakan media pandang dengar yakni televisi. Apapun argumentasinya televisi masih sangat diminati masyarakat. Buktinya para pebisnis masih saja belum merelakan televisi yang dipimpinnya gulung tikar. Bahkan di era digitalisasi media penyiaran khususnya televisi, banyak sekali televisi baru bertumbuh bagaikan cendawan yang tumbuh dimusim hujan. 

Ini peluang, menggunakan wayang sebagai media dakwah dan melalui televisi dapat di biwarakan sampai mana-mana. Karena cakupan televisi namun juga internasional. Apalagi dengan adanya televisi streaming.     

Kelima, media massa cetak juga dapat dijadikan media dakwah  dengan menggunakan wayang sebagai jembatannya. Bagaimana menarasikan adab unggah-ungguh, tepo seliro, sopan santun, dan jiwa kepemimpinan yang ada dalam tokoh wayang kedalam kehidupan yang sehari-hari. 

Demikianlah hal-hal yang dapat dilakukan dalam memaknai dakwah melalui media wayang. Sehingga kita jadikan wayang sebagai salah satu alat/media untuk menyiarkan ajaran agama sekalipun. Mudah-mudahan akan tercipta negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Terkait


Sujiwo Tejo: Yang Belain Wayang Nonton Aja Mungkin tak Pernah

MUI: Wayang Diperbolehkan untuk Berdakwah

Gus Baha: Sunan Giri Sebut Wayang Haram, Sunan Kudus Beri Solusi

Sujiwo Tejo: Yang Belain Wayang Mungkin Hanya Ingin Gaduh

Wayang Haram? Justru Anak Muda Harus Dikenalkan dengan Wayang

Republika Digital Ecosystem

Kontak Info

Republika Perwakilan DIY, Jawa Tengah & Jawa Timur. Jalan Perahu nomor 4 Kotabaru, Yogyakarta

Phone: +6274566028 (redaksi), +6274544972 (iklan & sirkulasi) , +6274541582 (fax),+628133426333 (layanan pelanggan)

[email protected]

Ikuti

× Image
Light Dark