Bisakah Wayang Jadi Wasilah Dakwah?
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Guru Taman Kanak-kanak mementaskan wayang saat Festival Wayang di Bantul, Yogyakarta, Rabu (15/12). Sebanyak tujuh taman kanak-kanak negeri di Kabupaten Bantul mengikuti Festival Wayang ini. Tetapi yang membedakan pada festival ini yakni guru-guru menjadi dalang dan membawakan lakon tentang edukasi kepada anak-anak. | Foto: Wihdan Hidayat / Republika
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Wayang saat ini sedang menjadi perbincangan masyarakat di Indonesia. Bahkan, belakangan dijadikan sebagai alat mengadu domba antara masyarakat Muslim dan masyarakat budaya, yang seakan-akan memiliki pertentangan satu sama lain.
Dalang Kekayon Khalifah, Ki Lutfi Caritagama mengatakan, dalam memanfaatkan wayang sendiri terdapat tiga parameter penting. Pertama, mulai dari pembuatan wayang sampai pagelaran wayang tersebut tidak melanggar fiqh yang ada dalam Islam.
Kedua, memang mengandung keindahan sebagai hiburan Ketiga, untuk sarana dakwah, sampaikan nasehat dengan hikmah. Karenanya, ketika wayang itu malah dipakai untuk tujuan-tujuan lain, ia mempersilakan masing-masing memberikan penafsiran sendiri.
Ki Lutfi sendiri merupakan lulusan Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Islam Nusantara UIN Sunan Kalijaga. Pada 2013, jadi bagian Conference Wayang for Humanity yang digelar Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM dan Unesco.
Lutfi membuat wayang yang bisa mendialogkan Islam dan budaya Jawa, mereproduksi budaya wayang dengan tokoh-tokoh bukan lagi dari Mahabarata dan Ramayana. Sebab, ia melihat, yang terpenting dari wayang tidak lain visualisasi dan sumber cerita.
"Dalang itu sebutan orang lain, saya sejak 2014 membuat wayang kekayon khalifah, semua berbentuk gunungan, untuk tokoh-tokoh merupakan nama sahabat-sahabat, saya visualisasi dalam bentuk kaligrafi atau simbol-simbol," kata Lutfi dalam Series Aktualita yang digelar Cinta Quran TV dan dan Amazing People, Rabu (23/2/2022) malam.
Ia merasa, tidak harus menggambar wujud manusia karena karakter bisa dieksplorasi. Ada simbol-simbol yang bisa diambil seperti nama sahabat yang dibuat kaligrafi. Dulu, orang-orang Nusantara sendiri membuat wayang seperti kehilangan pahlawannya.
Misal, kehilangan orang tua. Jadi, mereka membuat batu sebagai bentuk wayang, dan saat melihat batu tersebut teringat orang tua mereka. Kelamaan, mereka kebanjiran pahlawan dari Mahabarata dan Ramayana, yang memiliki banyak sekali tokoh-tokoh.
Lutfi menerangkan, wayang turut bertransformasi. Dari sebagai ritual, lalu sebagai edukasi, dan era 1945an banyak memakai tokoh-tokoh nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, dan lain-lain. Kemudian, wayang berubah dipakai sebagai hiburan.
"Dan dalang itu tanpa kutip maha kuasa, tapi karena hiburan, ada yang lebih kuasa yaitu yang nanggap (yang mengundang atau yang menyelenggarakan)," ujar Lutfi.
Founder Cinta Quran Foundation, Ustaz Fatih Karim menekankan, Series Aktualita ini tidak bermaksud menghakimi sana dan menghakimi sini. Intinya, hanya ingin mengetahui secara lebih luas kemampuan wayang menjadi sebuah sarana dakwah.
Maka itu, ia mengingatkan, kegiatan ini tidak masuk ke pembahasan apakah wayang halal atau apakah wayang haram. Fatih mengaku sejak awal memang tidak ingin masuk kepada perdebatan-perdebatan itu dan hanya ingin melihat lebih luas soal wayang. "Saya hanya ingin tanya benarkah wayang bisa jadi wasilah dakwah, dan jawabannya benar," katanya.