REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VI DPR meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan peraturan untuk menghentikan ekspor minyak kelapa sawit jika kewajaran harga tak tercapai.
Permintaan tersebut menjadi poin kedua dalam kesimpulan Rapat Kerja Komisi VI bersama jajaran Kemendag yang digelar selama enam jam pada Kamis (17/3/2022). Hal itu sebagai respons atas masalah tingginya harga minyak goreng di tengah masyarakat serta persoalan kelangkaan yang sebelumnya terjadi.
Meski demikian, Wakil Ketua Komisi VI, Muhammad Haikal, mengatakan, hal tersebut tentunya masih akan dibahas lebih lanjut dalam rapat-rapat berikutnya.
Komisi IV pun, juga telah sepakat untuk membentuk Panitia Kerja (Panja) pangan dan barang kebutuhan pokok. "Ini agak ekstrem (setop ekspor), nanti kita bahas di rapat-rapat berikutnya. Kita bahas di Panja bagaimana kewajarannya (harganya)," kata Haikal saat membacakan kesimpulan.
Lebih lanjut, ia mengatakan, Komisi IV juga mendesak Kemendag untuk segera berkoordinasi dengan Satgas Pangan Polri dan aparat penegak hukum dalam menjamin ketersediaan dan kestabilian harga minyak goreng di masyarakat. Tak hanya itu, dapat menindak tegas para pelaku pelanggar hukum.
Selanjutnya, Haikal mengatakan, Komisi IV DPR dan Menteri Perdagangan (Mendag) sepakat merekomendasikan pelaku usaha yang melalukan penyimpangan dan tidak mendukung program pemerintah agar izin usahanya dicabut. Manakala pengusaha tersebut juga mengelola kebun sawit di tanah negara, agar izin Hak Guna usaha (HGU) akan dicabut.
"Ini usul kita untuk bapak (Mendag) sampaikan ke ratas (rapat terbatas di Istana Negara) yang akan datang," kata Haikal.
Ia mengatakan, Komisi VI pun akan memanggil pengusaha produsen kelapa sawit dan distributir minyak goreng untuk melakukan rapat dengar pendapat umum.
Sebelumnya dalam rapat, Anggota Komisi VI Nusron Wahid, mengatakan, situasi saat ini seperti dalam kondisi "perang" sehingga pemerintah harus mengeluarkan kebijakan "bom atom".
"Kalau rakyat sudah menjerit, sudah ekstrem, stop ekspor. Apa gunanya kita ekspor, devisa tinggi tapi rakyat menderita. Batu bara juga begini di bom atom (larang ekspor) sebulan dua bulan, memang ada yang 'meninggal' tapi kita rekonsiliasi," kata dia.
Merespons itu, Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi mengatakan opsi tersebut selalu ada dari pemerintah. "Kalau saya, opsi itu (stop ekspor) tidak pernah dihapus kalau keadaan mendesak. Kita harus menyuplai dalam negeri, opsi itu selalu ada untuk kepentingan Republika Indonesia. Pasti," katanya.
Sebelumnya, dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, menjelaskan, dari luas lahan kebun sawit mencapai 16,38 juta hektare, proyeksi produksi minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) diperkirakan mencapai 53,77 juta ton pada tahun ini.
Adapun, untuk kebutuhan domestik untuk makanan 9,3 juta ton, oleokimia 2,1 juta ton, dan bahan bakar biodiesel 8,1 juta ton sehingga total kebutuhan domestik mencapai 19,6 juta ton. Jumlah itu setara 36,4 persen dari total produksi domestik. Sedangkan sisanya sebanyak 63,6 persen produksi diekspor.
Dengan kata lain, kata Sahat, kebutuhan minyak sawit untuk kebutuhan pangan, terutama minyak goreng hanya 10 persen dari total produksi sawit nasional.