Rabu 23 Mar 2022 20:38 WIB

Masa Idah dan Hukum Umrah Bagi Wanita dalam Masa Idah

Masa Idah dan Hukum Umrah bagi Wanita dalam Masa Idah

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Masa Idah dan Hukum Umrah bagi Wanita dalam Masa Idah - Suara Muhammadiyah
Masa Idah dan Hukum Umrah bagi Wanita dalam Masa Idah - Suara Muhammadiyah

Masa Idah dan Hukum Umrah bagi Wanita dalam Masa Idah

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Ustadz mau konsultasi. Perempuan sudah tua menopause yang ditinggal mati suaminya.

Muhammad Arif Rahman (Disidangkan pada Jumat, 5 Rabiulakhir 1442 H / 20 November 2020 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wr.wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara.

Mencermati pertanyaan saudara ini, sesungguhnya sang istri mendapatkan idah bukan karena ditalak dalam keadaan sudah menopause, akan tetapi karena suaminya telah meninggal dunia, maka idahnya menjadi empat bulan sepuluh hari karena idah yang wajib dilakukan oleh seorang istri yang suaminya meninggal dunia, baik setelah jimak atau pun belum, masih mengalami masa haid ataupun sudah tidak haid lagi (menopause) adalah selama empat bulan sepuluh hari dengan syarat perempuan tersebut tidak dalam keadaan hamil. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 234 berikut,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.

Orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Hal ini juga dijelaskan di dalam hadis berikut,

عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا [رواه البخاري : 1202].

Dari Zainab binti Abu Salamah (diriwayatkan) bahwa dia mengabarkan, katanya: Aku pernah menemui Ummu Habibah ra, istri Nabi saw, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas suaminya yaitu (ia boleh berkabung) selama empat bulan sepuluh hari [HR. al-Bukhari No. 1202]. Berkabung atau yang disebut dalam hadis di atas sebagai al-hadaad (الْحَدَادُ ) yaitu tidak mengenakan perhiasan baik berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau lainnya yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya.

Menurut Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab juz 18 halaman 181, ihdad adalah meninggalkan pemakaian pakaian yang dicelup warna yang dimaksudkan untuk perhiasan, atau menahan diri dari bersolek atau berhias pada badan. Imam asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm juz 5 halaman 230 mengatakan bahwa Allah swt memang tidak menyebutkan ihdad dalam al-Qur’an, akan tetapi ketika Rasulullah saw memerintahkan perempuan yang suaminya meninggal dunia untuk ber-ihdad, maka hukumnya sama dengan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah swt. Dengan kata lain kekuatan hukum yang ditetapkan berdasarkan hadis Rasulullah saw sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan al-Qur’an.

عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ عَجْرَةَ أَنَّ الْفُرَيْعَةَ بِنْتَ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ وَهِيَ أُخْتُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهَا فِي بَنِي خُدْرَةَ فَإِنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ الْقَدُومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي فَإِنِّي لَمْ يَتْرُكْنِي فِي مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةٍ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ قَالَتْ فَخَرَجْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي الْحُجْرَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ دَعَانِي أَوْ أَمَرَ بِي فَدُعِيْتُ لَهُ فَقَالَ كَيْفَ قُلْتِ فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ الَّتِي ذَكَرْتُ مِنْ شَأْنِ زَوْجِي قَالَتْ فَقَالَ امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا قَالَتْ فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ أَرْسَلَ إِلَيَّ فَسَأَلَنِي عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرْتُهُ فَاتَّبَعَهُ وَقَضَى بِهِ [رواه أبو داود].

Dari Zainab binti Ka‘ab bin ‘Ujrah (diriwayatkan) bahwa Furai‘ah binti Malik bin Sinan saudara perempuan Said alKhudrimendatangi Rasulullah saw, lalu meminta izin kepada beliau untuk kembali kepada keluarganya di Bani Khudrah, karena suaminya keluar mencari beberapa budaknya yang melarikan diri hingga setelah mereka berada di Tharaf alQadum ia bertemu dengan mereka lalu mereka membunuhnya. Aku meminta izin kepada Rasulullah saw untuk kembali kepada keluargaku, karena ia tidak meninggalkanku ada dalam tempat tinggal yang ia miliki dan tidak memberikan nafkah.

Ia berkata: kemudian aku keluar hingga setelah sampai di sebuah ruangan atau di masjid, beliau memanggilku dan memerintahkan agar aku datang. Kemudian beliau berkata: Apa yang engkau katakan? Kemudian aku kembali menyebutkan kisah yang telah aku sebutkan, mengenai keadaan suamiku. Ia berkata: Lalu beliau bersabda: Tinggallah di rumahmu hingga selesai masa idahmu. Ia berkata: Kemudian aku beridah di tempat tersebut selama empat bulan sepuluh hari. Ia berkata: Kemudian tatkala Usman mengirimkan surat kepadaku, ia bertanya mengenai hal tersebut, lalu aku kabarkan kepadanya, lalu ia mengikutinya dan memberikan keputusan dengannya [HR. Abu Dawud No. 2300].

Berdasarkan hadis di atas, bahwasanya perempuan yang sedang dalam masa idah tidak boleh keluar rumah. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma‘bud Syarh Sunan Abi Dawud mengenai hadis di atas bahwa makna ‘sampai selesainya masa idah’ itu karena sesungguhnya idah hukumnya wajib, sebagaimana firman Allah swt dalam QS. al-Baqarah (2) ayat 183: كتب عليكم. Hal ini juga mengutip dari firman Allah swt dalam QS. al-Baqarah ayat 235 dan pendapat-pendapat dari khabar-khabar yang banyak.

Al-‘Allamah al-Qadhi asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authar, perempuan yang suaminya meninggal dunia maka harus menjalankan idah di rumah suaminya, yaitu ketika sampai berita kematian suaminya pada sang istri, maka sang istri harus menjalankan idah di rumah suaminya dan tidak boleh keluar dari rumah tersebut. Para jamaah dari kalangan sahabat, tabiin dan setelah mereka juga berpendapat demikian. Al-‘Allamah berkata bahwa tidak ada sesuatu pun yang datang yang menyelesihi hadis Furai‘ah ini, maka dari itu berpegang teguhlah karena hal ini merupakan sesuatu yang telah ditetapkan.

Berkaitan dengan hukum seorang perempuan yang sedang dalam masa idah untuk pergi umrah, kami akan memaparkan penafsiran para sahabat dalam memahami surah al-Baqarah (2) ayat 234 tentang durasi waktu dan ketentuan idah perempuan yang suaminya meninggal dunia yang ada di dalam kitab Tafsir al-Qurthubi juz 3 halaman 177. Di sini dijelaskan bahwa ‘Usman bin ‘Affan dan Umar menetapkan keharusan menjalankan masa idah bagi seorang istri yang suaminya meninggal dunia selama 4 bulan 10 hari di rumahnya.

Dalam kitab Fiqh as-Sunnah karangan as-Sayyid Sabiq juz 4 halaman 133 dijelaskan pula bahwa Umar melarang perempuan yang suaminya meninggal dunia keluar dari rumahnya untuk menunaikan ibadah haji. Namun, ada pengecualian dari hukum ini, yaitu bagi perempuan pedalaman jika suaminya meninggal dunia, maka ia boleh ikut pergi bersama keluarganya jika keluarganya memang biasa berpindah-pindah tempat tinggal.

Pendapat lain di antaranya Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, ‘Ali bin Abi Thalib dan Jabir mengatakan bahwa perempuan yang menjalankan idah karena suaminya meninggal dunia tidak harus berada di rumahnya, ia boleh menjalankannya sesuai kehendaknya. Hal ini karena dalil yang mewajibkan perempuan untuk menyelesaikan masa idahnya di rumahnya hanya berlaku untuk perempuan yang ditalak [QS. at-Talaq (65): 1].

Berdasarkan penjelasan di atas, pendapat para sahabat tentang idah perempuan yang suaminya meninggal dunia masih diperselisihkan, karena perbedaan penafsiran surah al-Baqarah (2) ayat 234 tersebut di atas. ‘Aisyah ra pun mengeluarkan fatwa tentang kebolehan untuk pergi umrah bagi perempuan yang sedang dalam masa idah, karena ia berpendapat idah perempuan yang suaminya meninggal dunia berbeda dengan perempuan yang ditalak suaminya. Adapun bunyi fatwanya sebagai berikut,

عَنْ عُرْوَةَ قَالَ خَرَجَتْ عَائِشَةُ بِأُخْتِهَا أُمِّ كُلْثُوْمٍ حِيْنَ قُتِلَ عَنْهَا طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ إِلَى مَكَّةَ فِي عُمْرَةٍ قَالَ عُرْوَةُ كَانَتْ عَائِشَةُ تُفْتِي الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا بِالْخُرُوْجِ فِي عِدَّتِهَا [رواه عبد الرزاق].

Dari ‘Urwah (diriwayatkan) bahwa ia berkata: Aisyah ra pernah keluar dengan saudara perempuannya yaitu Ummi Kultsum ketika Thalhah bin ‘Ubaidillah (suami Ummi Kultsum) terbunuh, ke Makkah untuk melakukan umrah. ‘Urwah berkata: Aisyah ra memfatwakan kebolehan keluar rumah bagi seorang perempuan yang dalam masa idah karena ditinggal mati suaminya [HR. ‘Abdurrazzaq No. 12054].

Adapun berkaitan dengan nazar yang para ulama pun bersepakat bahwa hukumnya wajib bila ia bernazar untuk melakukan taat kepada Allah swt. Landasan pensyariatan nazar ini terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis, salah satunya dalam hadis berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ [رواه البخاري].

Dari Aisyah ra (diriwayatkan) dari Nabi saw bersabda: Barangsiapa bernazar untuk taat kepada Allah maka ia wajib menaatinya, dan barangsiapa bernazar untuk maksiat kepada Allah maka janganlah ia melakukan maksiat kepada-Nya [HR. al-Bukhari No. 6202].

Adapun jika ia tidak sampai menunaikannya atau melanggarnya tanpa adanya pembatalan nazar baik dengan uzur syar’i ataupun tidak, maka ia wajib membayar kafarat seperti dan sebanyak kafarat sumpah, sebagaimana hadis berikut,

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ [رواه مسلم].

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir (diriwayatkan) dari Rasulullah saw bersabda: Kafarat (denda) nazar sama dengan kafarat sumpah [HR. Muslim No. 3103].

Berdasarkan ayat al-Qur’an dan hadis-hadis di atas, maka kami menyimpulkan bahwa perempuan yang sedang menjalankan idah karena suaminya meninggal dunia boleh untuk melaksanakan ibadah umrah dan menjadi wajib karena nazar dengan ketentuan ia tetap menjalankan ihdad yang sudah ditetapkan yaitu tidak diperbolehkan untuk berdandan yang seakan-akan ia memamerkan dirinya, akan tetapi juga tidak harus berpenampilan “kusut”, dalam artian ia dapat tampil secara normal, karena larangan untuk berdandan dan lain sebagainya itu bukan li at-tahrim (sebagai pengharaman), selain itu ia juga harus menjaga etikanya selama menjalankan ibadah umrah.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 18 Tahun 2021

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement