REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Bulan Ramadhan adalah bulan yang selalu dinanti oleh Umat Islam, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Tidak seperti Ramadhan sebelumnya, tahun ini, Ramadhan menjadi momen melatih kesabaran, khususnya bagi para pedagang gorengan dan ibu rumah tangga.
Mereka diminta sabar akan langka dan mahalnya minyak goreng. Masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya Kota Makassar, memiliki menu khas saat Ramadhan, yakni jalangkote. Sajian ini menjadi menu favorit saat berbuka puasa.
Seiring naiknya harga minyak goreng, jalangkote mulai berkurang karena pedagang kecil beralih berjualan penganan lain, seperti pisang ijo dan lainnya. Kudapan khas Sulawesi Selatan ini juga sudah menjadi salah satu ikon dari 10 daftar menu kuliner resmi Kota Makassar
.Berbagai catatan sejarah menyebutkan bahwa jalangkote berasal dari dua kata, yakni "jalang" yang berarti jalan dan "kote" berarti berkotek-kotek atau berteriak. Jalangkote dulu dijajakan oleh anak kecil dari rumah ke rumah dengan teriakan khas. Maka disebutlah makanan ini sebagai jalangkote.
Sekilas jajanan ini mirip dengan pastel, yang membedakan hanya pada tekstur kulitnya. Kulit jalangkote lebih tipis dan lebih renyah dibandingkan pastel. Jalangkote memiliki isian potongan telur, ubi jalar yang dipotong kecil menyerupai dadu serta beberapa sayuran, seperti taoge.
Seiring berkembangnya zaman, isian jalangkote mulai divariasikan, sesuai dengan cita rasa masing-masing. Unsur penting dari jalangkote ada pada sausnya, yang umumnya menggunakan campuran saus cabai, sedikit cuka, gula pasir dan bahkan ada yang menggunakan cabai rawit.
Berbeda dengan pastel yang hanya menggunakan cabai rawit. Bagi sebagian warga Makassar, jalangkote merupakan salah satu menu wajib saat akan berbuka puasa saat Ramadhan. Di setiap bazar Ramadhan yang digelar di beberapa tempat, jalangkote dipastikan ada dalam meja jajaan.
Ujian bagi pedagang gorengan mulai dirasa tatkala salah satu komoditas kebutuhan bahan pokok itu menjadi barang yang dirasa berat oleh para pedagang. Dekan Fakultas Teknologi Industri (FTI) Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Zakir Sabhara adalah satu dari sekian banyak warga Makassar yang menyatakan suka dengan jalangkote.
Menurut dia, jalangkote selalu ada di berbagai strata sosial masyarakat. Di tengah langka dan mahalnya minyak goreng saat ini, dia mengajak masyarakat menjadikan momentum mengurangi menu gorengan.
Bagi pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) ia berharap agar kesehatan pelanggan selalu menjadi perhatian utama. Konsumen pun diajak berhati-hati memilih jajanan yang cara penyajiannya dengan cara digoreng.
Zakir yang mengambil studi kimia itu menjelaskan minyak goreng akan mengalami kenaikan ikatan rantai asam lemak tak jenuh, penurunan ikatan jenuh, polimerisasi dan juga oksidasi. Perubahan tersebut memberi dampak yang kurang bagus bagi kesehatan, bahkan dapat menimbulkan efek karsinogenik (berpotensi menyebabkan kanker) akibat perubahan struktur dan perubahan sifat kimiawi minyak.
Oleh karena itu, dirinya tidak menyarankan menggunakan minyak jelantah yang telah dipakai berulang-ulang, terutama di saat minyak goreng mahal. "Makan gorengan memang dapat meningkatkan nafsu makan dan tentunya berkontribusi positif dalam pemenuhan kebutuhan tubuh akan makanan. Itu jika kita mengikuti aturan pemakaiannya, misalnya hanya dua hingga tiga kali penggorengan saja," katanya.
Agar gorengan yang kita makan, misalnya jalangkote, tetap sehat dan nikmat, disarankan menggoreng jalangkote dengan minyak sedikit atau secukupnya sehingga minyak tidak dipakai berulang kali.Bagi pedagang gorengan, minyak sawit menjadi kunci mempertahankan usaha untuk menafkahi keluarga.Hasnah, salah satu pelaku UMKM di kawasan Antang Makassar, bagian timur kota itu, telah menjajakan jalangkote sejak beberapa tahun. Selain jalangkote, ia juga menjajakan bikandoang atau sejenis bakwan.
Siasati buka puasa
Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto mengajak seluruh pecinta gorengan mengganti atau mengurangi porsi makanan yang dimasak menggunakan hasil olahan minyak sawit itu dengan cara menambah porsi rebusan. Sebetulnya, menurut dia, hampir setiap orang di kota itu sejak kecil sudah terbiasa mengonsumsi makanan dari hasil rebusan dan dibakar.
Makanan dengan hasil rebusan dan bakar juga disebutnya lebih menyehatkan dari makanan yang digoreng. Di beberapa masjid yang dikunjunginya saat menggelar Safari Ramadhan, dirinya kadang ditanyai oleh warganya tentang masih sulitnya ditemukan dan mahalnya minyak goreng di pasaran.
"Lebih baik kita kembali saja ke masa lalu, berkreasi dengan direbus dan bakar itu jauh lebih sehat. Bukan dihilangkan makanan gorengannya, tapi dikurangi saja dulu sementara," kata Danny.