REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengidap depresi jarang mendapatkan pengobatan yang diperlukan. Bahkan, di antara mereka yang mendapatkan bantuan, ada sebagian yang kebal terhadap terapi dan pengobatan.
Artikel penelitian tahun 2019 yang diterbitkan di BMC Psychiatry menyebutkan hingga 30 persen pasien dengan gangguan depresi mayor akan mengalami depresi yang resisten terhadap pengobatan. Akan tetapi, sebuah studi terkini menghadirkan harapan baru.
Riset yang digagas oleh peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Stanford itu menguji jenis pengobatan eksperimental baru. Dengan tingkat keberhasilan sangat tinggi, perawatan tersebut berpotensi mengubah hidup pengidap depresi.
Perawatan yang dimaksud adalah Stanford Accelerated Intelligent Neuromodulation Therapy (SAINT) atau hanya disebut terapi neuromodulasi Stanford. Terapi neuromodulasi itu berupa stimulasi magnetik transkranial intensif dan individual.
Stimulasi magnetik transkranial merupakan bentuk stimulasi otak yang noninvasif. Caranya, menggunakan perangkat untuk mengirim energi magnet yang kuat untuk mengaktifkan neuron yang kurang aktif di otak.
Tim Stanford melibatkan 29 peserta yang rata-rata sudah mengidap depresi selama sembilan tahun. Mereka berusia antara 22 dan 80 tahun. Sebanyak 14 orang ditangani dengan SAINT, sedangkan sisanya menjalani pengobatan plasebo.
Setelah lima hari, para peneliti menyimpulkan bahwa 78,6 persen individu yang dirawat tidak lagi mengalami depresi. Dalam empat pekan percobaan, 11 dari 14 peserta yang menerima SAINT memenuhi kriteria Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) untuk remisi depresi.
Perawatan serupa SAINT yang disebut stimulasi theta-burst intermiten (iTBS) telah disetujui oleh FDA pada 2019. Metode iTBS melibatkan sesi harian selama enam pekan dan terbukti mengurangi gejala depresi pada sekitar 50 persen pasien.
Untuk menghasilkan hasil yang lebih baik dalam jangka waktu yang lebih singkat, SAINT menggunakan volume denyut nadi yang lebih tinggi per sesi. Perawatannya lebih sering tetapi lebih singkat, yakni 10 sesi selama 10 menit setiap harinya.
SAINT juga menerapkan metode yang lebih bertarget untuk setiap pasien. Dokter melakukan penelitian pendahuluan lebih lanjut ke dalam sirkuit otak masing-masing orang sebelum perawatan.
Karena hasil dan efektivitasnya yang cepat, SAINT memiliki potensi untuk membantu orang-orang dalam krisis. Salah satu hal yang paling menarik tentang SAINT adalah seberapa cepat hasilnya, tidak seperti iTBS atau perawatan lain yang butuh beberapa pekan hingga bulan untuk meredakan gejala pasien.
Obat antidepresan, misalnya, tidak menunjukkan manfaat penuh sampai sekitar delapan sampai 12 pekan. Metode terapi bicara, termasuk psikoterapi dan terapi perilaku kognitif (CBT), juga butuh waktu lama dan bisa membuat pasien merasa lebih buruk pada awal sesi.
Terapi stimulasi Stanford mengurangi waktu untuk mendapat hasil optimal, menjadi hanya beberapa hari. Para peneliti berharap dapat menjadikannya pilihan yang layak bagi pasien pengidap depresi yang berada di titik krisis.
"Kami ingin memasukkan ini ke unit gawat darurat dan bangsal psikiatri di mana kami dapat merawat orang-orang yang berada dalam keadaan darurat psikiatri. Periode tepat setelah rawat inap adalah saat ada risiko bunuh diri tertinggi," kata salah satu penulis senior studi, Nolan Williams, dikutip dari laman Bestlife Online, Selasa (19/4/2022).