REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan "Rifka Annisa"menyebutkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Daerah Istimewa Yogyakarta masih tinggi kendati pada masa pandemi COVID-19.
"Di situasi krisis sekalipun kekerasan terhadap perempuan masih tetap ada dan yang membutuhkan layanan pendampingan tetap tinggi," kata Manajer Program Pendampingan Rifka Annisa Indiah Wahyu A dalam webinar "Catatan Tahunan Wajah Kekerasan 2021" dipantau di Yogyakarta, Rabu (20/4/2022).
Menurut dia, pada periode Juli-Agustus 2021, di mana eskalasi COVID-19 varian Delta di Yogyakarta cukup tinggi dan jumlah klien yang melanjutkan layanan menurun tajam, namun pengakses hotline Rifka Annisa tetap tinggi.
Indiah menyebutkan dari sebanyak 204 orang yang mengakses layanan selama 2021, paling dominan adalah kasus kekerasan terhadap istri (KTI) yang tercatat sebanyak 109 kasus, disusul pelecehan seksual 35 kasus, kekerasan dalam pacaran 34 kasus, kekerasan dalam keluarga 16 kasus, perkosaan 8 kasus, dan 2 kasus lainnya.
Korban kekerasan seksual, menurut dia, mayoritas adalah remaja akhir dengan rentang usia 18 sampai 25 tahun yang sebagian besar pelajar atau mahasiswa."Tahun ini klien kami yang paling muda berusia 5 tahun dengan pelaku adalah calon ayah atau calon suami dari ibu," ujar dia.
Dari seluruh aduan kasus tersebut, menurut dia, hanya 16 persen korban kekerasan seksual yang memilih lanjut ke proses hukum pidana.Sejumlah alasan yang menyebabkan mereka enggan melanjutkan ke proses hukum, ujar Indiah, di antaranya minim alat bukti dan saksi, masih pemulihan psikologis, dan malu jika diketahui keluarga.
Korban yang melaporkan kasus kekerasan, menurut dia, paling banyak berasal dari Kabupaten Sleman mencapai 44 persen, disusul Kota Yogyakarta 27 persen, Bantul mencapai 13 persen, Kulon Progo dan Gunung Kidul 2 persen, dan luar DIY 12 persen.Ia berpendapat masih tingginya kasus kekerasan dalam keluarga disebabkan krisis pandemi yang memicu eskalasi konflik dalam rumah tangga.
Indiah menuturkan perempuan dan anak hingga kini rentan menjadi korban kekerasan disebabkan ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki yang dipicu struktur budaya patriarki yang memosisikan laki-laki sebagai pengambil keputusan dan pemegang kekuasaan."Ini berpotensi disalahgunakan jika tidak ada kesadaran dan tanggung jawab. Struktur budaya ini dilestarikan melalui pola-pola pengasuhan baik di dalam keluarga maupun masyarakat," ujar dia.
Sementara itu, mengacu laporan yang diterima, ujar Indiah, baik pelaku maupun korban sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan menengah ke atas.Menurut dia, sebagian besar pelaku maupun korban bekerja di sektor informal atau menekuni profesi yang tidak mendatangkan income seperti pelajar, mahasiswa, dan ibu rumh tangga.
"Ketidakstabilan finansial memperbesar risiko terjadinya kekerasan," ujar Indiah.
Berpijak dari masih tingginya kasus tersebut, Rifka Annisa mendorong agar pemerintah segera membuat aturan yang dimandatkan dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden secara terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat.