REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Sosiologi Agama, Universitas Ibrahimy, Jawa Timur, H.M. Baharun menilai tradisi lebaran ketupat yang berlangsung pada bulan syawal perlu untuk dilestarikan sebagai khazanah bangsa.
"Sepanjang sejalan dengan niliai-nilai agama, ini dapat dilestarikan sebagai khazanah bangsa kita," kata Baharun pada Rabu (4/5/2022).
Baharun mengungkapkan, lebaran ketupat yang disemarakkan sepekan setelah Hari Raya Lebaran satu Syawal merupakan akulturasi antara agama dan budaya. Agama menuntun umatnya bagi yang mampu untuk menyempurnakan puasa dengan menambah enam hari puasa Syawal sebagai sesuatu amalan sunnah.
"Pada hari lebaran satu Syawal umat Islam tak boleh puasa (bahkan diharamkan) karena hari itu hari kemenangan yang lazim dimeriahkan dengan makan dan minum," kata Baharun.
Adapun Masyarakat Jawa umumnya mengenal dua kali lebaran. Pertama adalah Idul Fitri satu Syawal dan kedua adalah lebaran ketupat pada 8 Syawal, setelah puasa sunah enam hari Syawal.
Disebutkan bahwa lebaran ketupat pertama kali dikenalkan Sunan Kalijaga. Saat itu Sunan Kalijaga menggunakan dua istilah, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran adalah perayaan Idul Fitri yang diisi dengan shalat Id dan silaturahim. Sementara Bakda Kupat dilakukan tujuh hari setelahnya. Masyarakat kembali membuat ketupat untuk diantarkan kepada sanak kerabat sebagai tanda keberasamaan.
"Dimulai tanggal dua Syawal lalu selama sepekan, yang berakhir dengan kupatan, ditandai biasanya dengan makan ketupat dengan opor ayam. 'Ini adat bersandar syara'," ucap Baharun.