Usulan RUU Pemerintahan Digital Perlu Dikaji Ulang
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Warga mencetak dokumen kependudukan menggunakan mesin Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM) di Mall Pelayanan Publik (MPP) di Malang, Jawa Timur, Jumat (7/1/2022). Dua unit mesin ADM tersebut disediakan untuk membantu mempercepat pengurusan dokumen kependudukan dengan sistem digital. | Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- DPD RI dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengadakan uji sahih RUU Pemerintahan Digital. Dari sana, muncul pandangan agar ada kaji ulang materi muatan RUU yang disusun Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI.
Apalagi, PPUU DPD RI mengusulkan RUU pada akhir 2021 sebagai usul inisiatif. RUU ini juga ditujukan agar dapat mengatur dan mengakomodasi digitalisasi di bidang pemerintahan dan telah masuk dalam long list Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024.
Dosen Ilmu Pemerintahan UMY, Dr Ulung Pribadi mengatakan, dalam RUU tersebut diperlukan untuk mengubah paradigma dari electronic government (pemerintahan digital) menjadi electronic governance (tata kelola pemerintahan digital).
Dengan begitu, ia berpendapat, akan melahirkan satu bentuk pemerintahan yang terintegrasi melalui hubungan yang sinergis. Antara pemerintah, pelaku ekonomi, pelaku industri, pengguna (customer), maupun dengan masyarakat itu sendiri.
"Serta, mendorong terbentuknya mekanisme penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah yang melibatkan semua stakeholders secara bersama-sama dan setara," kata Ulung.
Ia menilai, draft ini tidak hanya menekankan bidang ekonomi. Namun, perlu pula mencakup bidang-bidang lainnya seperti lingkungan, sumber daya alam, perubahan iklim, bencana, kearifan lokal, pengentasan kemiskinan, dan sebagainya. "Dengan tujuan akhir pemberdayaan masyarakat atau citizens empowerment," ujar Ulung.
Kepala Divisi Website, Aplikasi dan Big Data Lembaga Sistem dan Informasi UMY, Winny Setyonugroho, mengapresiasi adanya inisiatif RUU. Sebab, ia merasa, UU akan sangat diperlukan, khususnya untuk praktisi di bidang teknologi informasi.
Namun, perlu diciptakan standar data dan informasi dari bawah dan atas. Standar data harus ada, standar komunikasi datapun standar keamanan yang tegas. Dalam draft ini belum diatur tentang data apa saja yang boleh diminta dari penduduk.
Siapa yang boleh meminta, siapa yang menyimpan dan bagaimana kewajibannya. Ini termasuk standar data policy dan keamanan agar masyarakat jelas menolak memberi data ke yang tidak berwenang tanpa kehilangan hak dan kesetaraan ke layanan.
Terlebih, lanjut Winny, tantangan dalam penyelenggaraan UU ini daerah memiliki kondisi berbeda, sehingga akan lahir banyak tantangan baru dalam transformasi digital. Misalnya, ketika dari pusat membuat aplikasi dan dibawa ke daerah.
"Kemudian, daerah akan bingung terkait keberlanjutan sistem digital tersebut. Seperti siapa yang akan memelihara, bagaimana jika ada kerusakan, tentu saya tidak ingin RUU ini terjebak seperti itu," kata Winny.
Tim ahli penyusunan RUU Pemerintahan Digital, Prof Eko Prasojo melihat, pandemi menunjukkan digital governance solusi dan keniscayaan. Pemerintah bukan satu-satunya pihak, tapi bersama membangun dan memelihara pengembangan ekosistem.
"Dengan sektor ekonomi dan masyarakat yang terdiri dari pemerintahan digital, masyarakat digital dan ekonomi digital, infrastruktur, dan teknologi digital," ujar Winny.