Tahun baru hijriah sudah didepan mata. Satu tahun berlalu tidak terasa. Ada banyak catatan peristiwa menimpa umat manusia. Wa bil khusus umat Islam. Dan terkusus lagi pribadi kita. Menutup agenda mengawali tahun dengan keistimewaan bulan muharam. Muharam satu bulan haram. Di bulan ini, amal shalih akan dilipatkan pahalanya sebagaimana dosa yang digandakan balasannya. Bukan tanpa maksud Allah SWT memberikan keistimewaan yang demikian. Pilih awal dengan menabung pahala atau dompet dosa. Itu untuk direnungkan manusia.
Hijriah tidak akan lepas dari peristiwa hijrah baginda Nabi SAW. perjalanan yang cukup jauh antara Makkah dan Madinah. Sekitar 500 km harus beliau tempuh dengan unta dan didampingi sahabatnya Abu Bakar Ash Shidiq. Melelahkan, dan kita tidak dapat membayangkan. Bagaimana peluh, terik, dahaga menyamai beliau pada waktu itu. Menatap jarak yang masih jauh untuk menyambut kemenangan yang Allah SWT janjikan di kota Madinah al Munawarah. Kota yang diberkahi menjadi tonggak turunnya ayat-ayat syariat.
Masa itu dan di tempat itu dentang waktu bagi kaum Muhajirin dan Anshor untuk membuktikan keimanan, ketaatan, keberanian, keikhlasan dan pengorbanan. Pembuktian iman hingga bertaruh nyawa. Melindungi Rasul Allah SWT, menjaga agama dan mendakwahkan Islam seantero jazirah arabiyah. Terbitlah kesadaran pada diri manusia. Akan kaafahnya ajaran agama yang dibawa baginda SAW. Tak hanya Islam spiritual tapi Islam politik dalam artian Islam mengurus seluruh aspek kehiduapan manusia.
Dan tahun ini, 1441 Hijriah. Artinya, 14 abad lebih masa itu berlalu. Lantas, bagaimana kita menerjemahkan pergantian tahun hijriah? Tanpa makna atau ber-arti itu kembali kepada jiwa manusia. Melanjutkan jiwa heroik para pendahulu dienul Islam ataukah cukup jadi bancaan negara Barat.
Diujung sana ada Palestina yang masih terjajah Zionis Israel. Tetangganya yakni Suriah, ada konflik penguasa dengan rakyat hingga menghilangkan ribuan nyawa. Dinegeri tirai bambu, ada suku Uighur yang dicuci otaknya agar melupakan Allah SWT. Di Indonesia, konflik pemikiran intern umat Islam. Dan ditepian, ada banyak Islam KTP yang sembahyang tidak, berhijab tidak, kenal syariat juga tidak, bisa membaca al Quran juga tidak, tapi mengaku muslim.
Mengembalikan Marwah Umat Islam
Sungguh rumit persoalan umat Islam kini. Mungkinkah terurai selesai dan cahaya Islam bisa menyinari setiap pintu rumah manusia? Sangat bisa. Yakni dengan semangat hijriah, menghidupkan kembali tupoksi elemen umat Islam.
Pertama, para ulama kembali menjalankan totalitas peran sebagai da’i, teladan bagi umat. Mendakwahkan agama ini, kepada kalangan bawah hingga Presiden. Mensyiarkan seluruh ajaran Islam. Menjalankan peran amar ma’ruf nahi munkar. Fillah demi izzul Islam, kaum muslimin dan kesejahteraan bagi semesta manusia.
Kedua, kaum intelektual tidak terkooptasi dan tidak teracuni pemikirannya dengan fikrah ajnabi. Karena mereka adalah fiqur umat. Yang diotak dan ditangan mereka dipikulkan amanah sebagai problem solver atas persoalan kehidupan manusia. Sebagaimana ilmuwan muslim dimasa keemasan Islam. Temuan mereka dalam berbagai bidang ilmu memecahkan persoalan, mengangkat peradaban Islam.
Ketiga, menghidupkan kontrol sosial. Menumbuhkan jiwa untuk selalu menuntut ilmu agama, mengamalkannya dan membagikan ilmunya. Menyuburkan semangat ukhuwah. Menghapus sikap saling menjatuhkan dan mendzalimi. Berbaik sangka dan menghentikan konflik internal umat Islam. Kontrol sosial yang baik berbuah pada terselamatkannya pelangaran syariah dan perpecahan umat Islam.
Penulis: Puji Astutik, Pelaku Literasi Islami, Trenggalek Jawa Timur