Jijik dan menyeramkan. Mungkin kalimat itu tepat mewakili fenomena cross-hijaber yang tengah ramai diperbincangkan. Sekelompok pria yang gemar mengenakan busana muslimah, lengkap dengan cadar, dan mereka bebas mondar-mandir mengintai di area privasi para perempuan.
Selama ini, cross dress menjadi pemandangan yang sering kita temui. Laki-laki berpakaian ala perempuan. Alasan yang paling sering digunakan adalah alasan seni. Meski ditilik dari sudut pandang Islam tindakan tersebut jelas tidak boleh (haram).
Namun, sekularisme yang telah melekat dalam benak umat membuat aturan kehidupan tak lagi berpijak pada aturan Tuhan. Hingga cross dress, sesuatu yang salah, dianggap biasa. Bahkan dijadikan cara mengais penghidupan di dunia hiburan.
Namun fenomena cross-hijaber lebih mengerikan lagi. Wajah para pria tertutupi sempurna dibalik hijab dan purdah yang dikenakan. Mereka bebas keluar-masuk area privasi kaum wanita seperti tiolet, area wudhu, area sholat wanita, tanpa dicurigai. Kesemua dilakukan demi memenuhi hasrat menyimpang, menikmati apa-apa yang bisa disaksikan ketika para wanita berhijab membuka sedikit aurat. Menyeramkan!
Kelompok ini pun cukup eksis di media sosial. Mereka memiliki akun Instagram sendiri yang dinamakan @cross.hijaber. Catatan terakhir menunjukkan sudah ada 1.023 netizen yang mengikuti akun tersebut. Namun, saat dilacak kembali akun tersebut telah lenyap (today.line.me, 13/10/2019).
Menurut psikolog klinis Meity Arianty, tindakan para cross-hijaber merupakan bentuk penyimpangan, perbuatan mesum dan tindakan kriminal. Sebab, jika si pelaku melakukan upaya ini untuk mendekati perempuan, pada akhirnya akan menjadi pelecehan. Sejalan dengan pernyataan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Infomasi dan Komunikasi, Masduki Baidlowi, yang menegaskan bahwa cross-hijaber merupakan tindakan menyimpang dan musti dicegah.
Sampai kini, belum diketahui alasan pasti perbuatan para cross-hijaber. Apakah murni penyimpangan orientasi seksual ataukah langkah membangun monsterisasi hijab? Dengan menyebarkan rasa was-was masyarakat pada wanita berhijab, yang ujung-ujungnya membangun ketakutan untuk menggunakan hijab.
Namun, jika kita selisik lebih dalam, perilaku menyimpang kelompok cross hijaber lahir dari paham kebebasan yang kebablasan kehidupan masyarakat hari ini. Konsep liberalisme berpijak pada kebebasan berpikir, berpendapat, berperilaku dan beragama. Maka tak heran, perilaku manusia makin kesini kian aneh, tak jarang menyimpang, karena berpegang pada faham kebebasan.
Kondisi diperburuk dengan paham Barat yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kian hari semakin mengurat nadi di tubuh umat. Hingga kehidupan dijalani dengan mengeliminir aturan-aturan Tuhan yang hanya boleh berlaku dalam ranah pribadi. Pada akhirnya memicu timbulnya perilaku manusia yang menyelisihi agama. Padahal, agama adalah benteng utama bagi perilaku manusia.
Menumpas perilaku menyimpang semisal cross hijaber, hanya bisa dilakukan dengan pengintegrasian tiga hal. Pertama, memupuk ketakwaan individu dengan menciptakan suasana kehidupan yang lekat dengan keimanan pada Tuhan.
Kedua, menguatkan kontrol dan kepedulian masyarakat atas apa yang terjadi pada lingkungan, berdasar prinsip amar ma'ruf nahi munkar. Ketiga, penerapan hukum oleh Negara, yang mampu berfungsi sebagai pencegah dan pemberi efek jera bagi masyarakat yang menyaksikan maupun pelaku perilaku menyimpang.
Pengirim: Suti Khotimah, Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Sosial Masyarakat, Kuningan Jawa Barat