Sabtu 09 Nov 2019 16:01 WIB

Meneladani Pak Zar, Pendiri Gontor

Pak Zar pendiri Gontor menyebut konsistensi pendidikan berasal dari niat yang tulus

Salah satu sudut kampus Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Foto: ikpmsidoarjo.blogspot.com
Salah satu sudut kampus Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

“Sekolah yang mencari murid tidak akan pernah menjadi sekolah yang besar dan tidak akan menghasilkan orang-orang besar”. Saat ditanya oleh seseorang, tentang siapa orang besar menurut Gontor? Pak Zar menjawab: “Orang besar menurut Gontor adalah orang yang mau mengajarkan ilmunya dengan penuh keikhlasan meski dia berada di tempat yang terpencil dan di balik gunung sekalipun !!” ucap K.H. Imam Zarkasyi, ulama besar dan salah seorang trimurti pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor.

K.H. Imam Zarkasyi lahir di desa Gontor Ponorogo Jawa Timur, pada 21 Maret 1910 dan wafat pada 30 April 1985 di usia 75 tahun. Ayah dan Ibunya berdarah ningrat jawa. Leluhurnya adalah Kyai Ageng Kasan Basari (wafat 1760), pendiri Pondok Tegalsari yang sangat masyhur di abad ke-18-19. 

Dalam dirinya pun mengalir darah Sultan Kesepuhan Cirebon dari nasab sang ayah. Namun kerendahan hati dan rasa tawadhu’, begitu tampak dalam pribadi dan kesehariannya. 

Ulama besar ini enggan memberi embel-embel “Raden”, “Ustad” atau “Kyai” pada namanya. Sebutannya sederhana saja, “Pak Zar”. Pakaian kebesarannya cukup sarung, jas dan peci hitam, tanpa jubah dan sorban yang melilit-lilit kepalanya. Bahkan sering kali berkaos oblong, berbekal paku dan palu, Pak Zar berkeliling memperbaiki sendiri barang-barang pondok yang rusak, tanpa bantuan tukang.

Bagi Pak Zar, sederhana bukan berarti miskin. Sebait kata-kata ini akan selalu dikenang para santri dan alumninya: “Jika santri-santriku melihat bahwa apa yang kami makan, kami pakai, dan kami tempati lebih enak dari pada yang santri-santriku rasakan, silahkan protes!”. Adakah kita saksikan pada para pemimpin kita hari ini?

Pesantren Gontor adalah tempat untuk menyemai, memupuk serta menanam rasa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah, dan kebebasan. Menurut Pak Zar, sebuah institusi pendidikan yang baik dan konsisten, pasti akan menghasilkan sesuatu yang baik dan konsisten pula dan itu harus dimulai dari niat yang lurus. 

Inilah doa beliau saat pertama kali mendirikan Pondok Modern Gontor: “Ya Allah, kalau sekiranya perguruan yang saya pimpin ini tak akan memberikan faedah atau manfaat kepada masyarakat, lenyapkanlah ia segera dari pandangan saya”. Niat dan doa kyai yang ikhlas ini, ternyata langsung dijawab kebaikan oleh Allah. 

Pondok Modern Darussalam Gontor, bukannya lenyap dari muka bumi, tetapi justru hidup hingga kini. Gontor bukan hanya hidup sendiri, ia bahkan mampu melahirkan “anak-anaknya” di seantero nusantara bahkan sampai ke mancanegara. Ratusan pesantren cabang dan alumni Gontor dapat kita saksikan sekarang, tentu dengan segala kekurangan dan kelebihannya, Subhanallah.

Menurut Pak Zar, apa artinya sebuah iklan, brosur, dan spanduk promosi yang bombastis, bahwa sekolahnya atau pesantrennya unggul dalam A,B,C, tapi pada kenyataannya jauh dari yang di iklankan. Baginya mudah saja, siapa yang percaya dan taat kepada pondok, silahkan datang dan belajar di Gontor, tapi siapa yang tidak percaya dan tidak taat, silahkan pergi.

Gontor membuktikan konsistensinya, hingga kini, gontor tidak pernah menyebarkan brosur, iklan atau promosi di media mana pun, tapi santri yang datang tidak kurang dari ribuan orang setiap tahunnya. Dan lebih dari itu, gontor pernah “mengusir” 1.500 orang santri pada “peristiwa hitam” 19 Maret 1967 (Persemar) dan hanya 400 an santri yang dipanggil kembali untuk belajar. 

Apa kata pak Zar? “Sekalipun tinggal seorang murid, Gontor akan saya teruskan. Kalaupun tidak ada yang mau belajar, saya akan mengajar manusia dengan pena”. Setiap kali akan menandatangani surat pengusiran seorang santri, air mata pak Zar menetes, teringat anak itu dan orang tuanya, dengan lirih beliau berkata: “Anak itu harus saya usir, mudah-mudahan dia menjadi lebih baik, setelah keluar dari Gontor”. 

Puluhan tahun ijazah Gontor tak diakui di dalam negeri, lulusannya ditolak disana-sini saat akan mendaftar perguruan tinggi negeri. Namun anehnya, sejak dulu berbagai pemerintah luar negeri memberi apresiasi pada alumni Gontor. 

Mesir (1957), Arab Saudi (1967), dan Pakistan (1991) mengakui ijazah alumni Gontor sejak lama. Bagaimana dengan pemerintah indonesia? Negeri ini baru mengakui ijazah Gontor di tahun 2000, setelah 75 tahun. Kamu jangan minder, takut, atau kecil hati. Sampaikan dengan jujur dan ikhlas, orang pun akan menerima dengan baik” Nasehat pak Zar.

Pengirim: Diko Ahmad Riza Primadi / Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement