REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam mempertahankan suku bunga acuan dinilai langkah tepat. suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility tetap sebesar 4,25 persen.
"Menurut saya itu langkah yang tepat, tepat waktu, tepat sasaran dan tepat dosis atau takaran," kata Ekonom dan Co-Founder dan Dewan Pakar Institute of Social, Economics and Digital (ISED), Ryan Kiryanto, Kamis (21/7).
Tepat tersebut dengan mengacu kepada tujuan menjaga stabilitas rupiah dan mengendalikan inflasi sesuai jangkar BI dan menjaga momentum pertumbuhan. Stance kebijakan moneter BI masih dovish atau pro-growth.
Menurutnya, ini adalah kebijakan yang cermat dan terukur di tengah tekanan eksternal yang kuat. Mulai dari dampak perang di Ukraina, disrupsi rantai pasokan global, stagflasi global, dan lonjakan inflasi dunia.
Namun demikian, Indonesia masih diliputi keberkahan. Volatilitas Rupiah yang datar, inflasi inti yang masih dalam jangkar BI, cadangan devisa yang kuat, surplus neraca dagang secara konsisten didukung harga komoditas ekspor yang tinggi.
"Ini juga menjadi pertimbangan BI untuk tidak mengubah orientasi atau stance kebijakan moneternya yang dovish," katanya.
Di saat yang sama, stance kebijakan bank-bank sentral negara lain seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Eropa, Inggris, Australia, Kanada condong hawkish atau ketat. Suku bunga acuan mereka dinaikkan mengikuti inflasinya karena spiritnya pro stabilitas.
Ryan mengatakan, keputusan RDG BI tersebut sebenarnya juga sudah sesuai ekspektasi mayoritas ekonom sehingga tidak terlalu mengejutkan. Pernyataan BI yang akan selalu memantau perkembangan pasar dan perekonomian global dan domestik memberikan garansi bahwa bank sentral selalu ada di pasar.
"Kebijakannya yang ahead the curve, antisipatif dan preemptive, dan ini meningkatkan kepercayaan pasar," katanya.