REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook ( WEO ) pada Juli 2022 kembali merevisi turun perkiraan pertumbuhan ekonomi global periode 2022 dan 2023 masing-masing sebesar minus 0,4 ppt dan minus 0,7 ppt menjadi 3,2 persen dan 2,9 persen. Adapun perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dipangkas sebesar minus 0,1 ppt menjadi 5,3 persen pada 2022, dan minus 0,8 ppt menjadi 5,2 persen pada 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan proyeksi tersebut terbilang cukup baik dibandingkan negara-negara lain seperti China pertumbuhannya hanya 3,3 persen pada 2022 dan 4,6 persen pada tahun depan.
"Indonesia harus tetap waspada karena guncangan-guncangan yang terjadi di dunia ini bukan guncangan yang sepele ini adalah guncangan yang luar bisa tinggi," ujarnya saat Konferensi Pers APBN Kita Juli 2022, Rabu (27/7/2022).
Menurutnya salah satu guncangan yang dimaksud, inflasi tahun ini tingkat inflasi di negara maju tetap bertahan di atas 6,6 persen atau kenaikan 0,9 pp. Kemudian di negara berkembang, inflasi mencapai 9,5 persen atau lonjakan 0,8 pp dari proyeksi IMF sebelumnya.
“Inflasi yang semakin tinggi dan pertumbuhan yang semakin melemah merupakan kombinasi yang sangat tidak baik, sehingga perlu diwaspadai lantaran dapat berpengaruh ke Indonesia,” ucapnya.
Di samping itu, lanjut Sri Mulyani, risiko resesi yang dihadapi seluruh dunia tak lepas dari rencana Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) yang akan kembali mengerek suku bunga acuan. Adapun rencana menaikkan lagi suku bunga acuan yang diprediksi akan mengerek sebanyak 75 basis poin dari level 1,5 persen minus 1,75 persen ke 2,25 persen minus 2,5 persen.
"Dengan kenaikan suku bunga yang makin agresif dari Federal Reserve, membuat adanya tantangan atau ancaman resesi. Setiap Amerika menaikkan suku bunga apalagi secara sangat agresif biasanya diikuti oleh krisis keuangan dari negara-negara emerging (berkembang),” ucapnya.
Berdasarkan survei yang dirilis Bloomberg, Sri Mulyani menyebut, probabilitas kemungkinan terjadinya resesi di kawasan Amerika sebesar 40 persen, kemudian Eropa sebesar 55 persen.
“Jika kita lihat RRT (China) yang merupakan ekonomi kedua terbesar di dunia, yang menerapkan policy lockdown probabilitas dari resesi tahun ini oleh Bloomberg Survey sebesar 20 persen," ucapnya.
Meskipun demikian, bendahara negara tersebut memastikan kondisi perekonomian Indonesia masih relatif aman. Dalam survei tersebut, potensi resesi Indonesia hanya tiga persen dibandingkan negara lain.
"Pada saat yang sama kita juga melihat kompleksitas dari policy yang bisa menimbulkan spillover policy. Dari sisi moneter di negara-negara maju berpotensi menimbulkan over atau imbas negatif ke negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia harus juga waspada," ucapnya.